FORUM DISKUSI JURNALIS “Pemahaman yang Salah tentang Isu Stunting”




*Atasi Masalah Gizi Balita

PONTIANAK- Kebutuhan gizi anak yang tidak tercukupi dapat menghambat pertumbuhan anak, bahkan bisa menyebabkan stunting. Demikian disampaikan Yulsius Jualang, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar. Stunting mempengaruhi tingkat kecerdasan,” jelasnya saat menjadi pembicara dalam kegiatan Media Briefing Di Balai Bahasa, (28/11/017)

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Namun, masih banyak yang menganggap bahwa stunting terjadi karena faktor keturunan dan sesuatu yang wajar.

Jualang mengungkapkan, besaran masalah gizi balita Kalbar berdasarkan pantauan status gizi (PSG) 2016. Dari indikator kurang atau buruk prevalensinya di Kalbar mencapai 27, 5 persen lebih tinggi dari nasional yakni 17, 8 persen. Sedangkan indikator pendek dan sangat pendek prevalensi di Kalbar 34,9 persen, sedangkan di nasional 27, 5 persen. Indikator kurus dan sangat kurus mencapai 14, 4 persen, di nasional prevalensinya 11, 1 persen. Indikator gemuk, prevalensinya di Kalbar mencapai 4, 8 persen, dan secara nasional 4,3 persen.

Tahun 2016, lanjut dia berdasarkan kelompok umur di Kalimantan Barat, tercatat balita yang berada di usia 0-23 bulan yang mengalami gizi kurang sebanyak 24,5 persen, pendek 32,5 persen, kurus 16,1 persen, dan gemuk 4,5 persen. Sedangkan dari 0-59 bulan yang mengalami gizi kurang 27,5 persen, pendek 34,9 persen, kurus 14,4 persen, dan gemuk 4,8 persen.

Itu sebabnya, lanjut dia penanganan masalah gizi membutuhkan kerjasama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Program kesehatan sejak ibu hamil hingga anak berusia dua tahun menjadi sangat penting untuk mengatasi hal tersebut. Program 1000 Hari Pertama Kehidupan itu, kata dia menjadi kesempatan emas dalam memperbaiki gizi anak dan mencegah stunting. “Merupakan masa kritis untuk investasi gizi mencapai pertumbuhan dan perkembangan anak sehat,” ungkapnya.

Tak hanya kecerdasan saja, program 1000 Hari Pertama Kelahiran kata dia dapat mengurangi penyebab kematian bayi. Mendorong orang tua untuk aktif  memantau pertumbuhan balita ke posyandu, serta menerapkan pola hidup bersih dan sehat.  “Ini menurunkan anak pendek, kurus, dan berisiko lebih rendah menderita penyakit gula darah, diabetes, stroke, jantung koroner, serta obesitas,” ungkapnya.
Kemiskinan menjadi salah satu faktor yang mendorong munculnya kasus-kasus stunting. Kemiskinan yang dimaksud tidak hanya dilihat dari faktor asupan gizi yang tidak mencukupi, namun juga karena akses terhadap fasilitas kesehatan, serta sanitasi lingkungan yang kurang. Di sejumlah daerah, khususnya di desa-desa masih ditemukan sarana sanitas lingkungan yang tidak layak, sehingga berpotensi menjadi penyebab stunting. “Misalnya kondisi jamban, masih ada yang menggunakan jamban yang terdapat di pinggiran sungai yang mana dari sisi higienisitas tidak layak,” tambahnya.

Sebab itu, menurutnya perlu untuk meningkatkan kesadaran untuk melakukan aktivitas buang air pada jamban yang layak serta memastikan akses terhadap air bersih tercukupi.
Direktur Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Borneo, Reni Hidjazi mengatakan tantangan untuk mengampanyekan gizi nasional, khususnya untuk mencegah stunting tidaklah mudah. Terutama mengajak orang untuk sadar, dan paham tentang penyebab, gejala, dan akibat jangka panjang serta pencegahan stunting.

Ada lima kecamatan di Kubu Raya yang menjadi wilayah pendampingannya.  Upaya yang dilakukan, lanjut dia dengan masuk ke desa-desa, melakukan kelas ibu hamil, kelas ibu balita, ke posyandu, hingga ke puskesmas. “Partisipasi laki-laki juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman dalam mencegah stunting,” kata dia. 

Suami sebagai pemberi nafkah,kata dia seringkali tidak mau terlalu tahu soal pencegahan stunting. Padahal keterlibatan para suami ini juga penting dengan membantu sang istri terutama soal pemberian asupan makanan bergizi dan mendorong untuk penerapan ASI Ekslusif. “Kita juga berharap para suami mau mengantar istri saat pemeriksaan dan mau mencari info dan mendengarkan informasi tentang stunting ini," sampainya.

Dikatakan Reny, pengetahuan tentang stunting yang masih sangat sedikit diterima perempuan terutama di desa. Periode 1000 Hari Pertama Kehidupan juga berpengaruh bagi kesehatan ibu dan anak. "Titik rawan stunting itu satu diantaranya saat masa awal kehamilan. Ada masa ngidam, nah ini sangat rawan, biasanya perempuan malas makan. Makan ala kadarnya sehingga gizi tidak terpenuhi," jelasnya.
Masalah pengetahuan yang masih terbatas misalnya untuk pengolahan makanan bergizi itu juga menjadi sumbangsih penyebab stunting.Dia menuturkan kemiskinan perempuan sangat berkorelasi pula dengan stunting.

Hubungan kemiskinan dengan stunting sangat dekat. Ketika kondisi miskin di perempuan dia tidak bisa menyiapkan makanan yang bergizi. Kondisi ini mempercepat stunting. “Keterbatasan dana membuat keluarga sulit untuk memberikan asupan gizi yang cukup bagi anggota keluarganya” pungkasnya.
Share:

Komitmen Dunia Internasional Hapus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Berbasis Gender


Jakarta (30/11) – Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (KTPA) dengan beragam modus dan jenis yang kian berkembang di Indonesia menjadi fokus utama permasalahan yang diangkat dalam Konferensi Memperingati 50 tahun ASEAN dan Kampanye Internasional 16 Hari Menolak kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Konferensi ini bertujuan untuk menghapuskan segala Bentuk KTPA, demi meningkatkan pembangunan di bidang pemberdayaan perempuan di Indonesia. Namun adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender masih menjadi kendala dalam meningkatkan pembangunan pemberdayaan perempuan.

Upaya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dalam menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak baik di lingkup Internasional dan Nasional yaitu membentuk kebijakan atau produk hukum baik di bidang Kekerasan Perempuan berbasis Gender (Gender Based Violence), Kekerasan Terhadap Perempuan (Violence Against Women) dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Domestic Violence), diantaranya melalui Kampanye He For She, yang memperkuat keterlibatan peran laki-laki untuk mendukung peran perempuan dalam pembangunan. Selain itu mengkampanyekan program unggulan 3ENDS (Tiga Akhiri) yaitu akhiri kekerasan pada perempuan dan anak, akhiri perdagangan orang dan akhiri ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise menegaskan bahwa kekerasan perempuan berbasis gender dan KDRT merupakan isu global yang rumit karena terkait dengan budaya patriaki yang tertanam selama bertahun-tahun. Situasinya rumit tersebut mengesankan  seolah kaum perempuan dapat menerima hal tersebut sebagai kodrat yang tidak dapat dihindari.  Persepsi tersebut perlu diluruskan melalui upaya meningkatkan pendidikan, pengetahuan dan keterampilan pada kaum perempuan. Sehingga pada saatnya nanti kaum perempuan memiliki akses, peran, kendali atau kontrol dan manfaat yang sama dengan laki-laki terhadap semua sumber daya pembangunan. Bila hal itu terjadi maka kesetaraan dan keadilan gender dapat terwujud yang berarti pula kekerasan berbasis gender dapat dihapuskan. Dengan demikian apabila kesenjangan gender dapat dihapuskan maka peran gender dapat berjalan lebih adil, hal tersebut tidak hanya menguntungkan kaum perempuan tetapi juga kaum laki-laki. Keadilan gender menjamin perempuan hidup lebih sehat, secara otomatis perempuan akan mampu menjadi pasangan yang baik untuk laki-laki. Hanya dari perempuan yang sehatlah dapat lahir anak-anak yang berkualitas, sehat dan tumbuh serta berkembang secara optimal

“Dalam semangat memperingati 50 tahun ASEAN ini, mari kita bersatu untuk memperkuat perlindungan sekaligus mendorong penghapusan KTPA. Perempuan yang berada di negara ASEAN perlu bertindak lebih progresif agar mampu menjadi agen perdamaian di tengah kondisi sosial politik dunia yang tidak stabil. Jika masyarakat internasional mengkampanyekan 16 hari menolak KTPA, maka di Indonesia mari kita mengkampanyekan 365 hari tanpa kekerasan. Perlu kita ingat bahwa suatu negara tidak bisa dikatakan maju bila perempuan dan anak belum berada pada garis yang aman,” Tutup Menteri Yohana dalam Sambutannya pada Konferensi yang diselenggarakan atas kerjasama Mitra Perempuan, Canada Mission to ASEAN, bersama organisasi perlindungan perempuan dan anak.




Siaran Pers Nomor: B- 151/Set/Rokum/MP 01/11/2017
Share:

Media Gathering 4 Tahun 2017


Forum Diskusi Jurnalis yang digelar IMA World Health bersama Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, di Balai Bahasa, Selasa (28/11)
Share:

JPK Sosialisasikan Ajakan #shareyangbaik


Sejumlah anggota Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) terlibat sebagai panitia sekaligus peserta dalam kajian ini. Kajian yang diikuti ratusan remaja putera dan puteri ini mengupas tentang perilaku para remaja masa kini yang kian larut dalam kemajuan IT termasuk gadget. Idealnya seiring dengan perkembangan teknologi, gadget diharapkan bisa menjadi sarana edukasi dan saling berbagi berbagai informasi yang bermanfaat. Namun fenomena yang terjadi saat ini banyak masyarakat terutama kalangan remaja menggunakan menggunakan fasilitas gadget dengan sosmed yang dimiliki hanya sekedar membagikan postingan atau beragam informasi yang kurang bermanfaat. 



Dalam kesempatan itu narasumber kajian, Ustad Abuya Nanang Zakaria mengimbau sekaligus mengingatkan para peserta kajian untuk lebih bijak dalam mengikuti sekaligus menggunakan fasilitas media sosial, serta lebih mengutamakan untuk berbagi informasi yang mendukung peningkatan pengetahuan dan wawasan. Di penghujung acara, usai membagikan door prize, sejumlah anggota Jurnalis Perempuan Khatulistiwa juga diberikan kesempatan peserta untuk mengkampanyekan penggunaan internet sehat bagi semua peserta kajian termasuk mengimbau semua peserta yang hadir untuk bersama-sama mencegah aksi bulliying dan kekerasan seksual yang belakangan ini kerap dialami oleh anak-anak dan kaum perempuan.








Share:

Nobar dan Diskusi Anti bullying Bagi Penderita Sleep Paralyze

Anggota Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) terlibat dalam kegiatan pemutaran film pendek yang digelar oleh Rumah Produksi Film Mainmain dan Enggang Drone Community di Pontianak. Pemutaran film pendek yang disertai dengan diskusi anti bullying bagi penderita sleep paralyze bertujuan mengajak masyarakat untuk sama-sama lebih selektif dalam memilih film yang sehat. Upaya ini dilakukan salah satunya untuk menekan kasus bullying yang belakangan marak terjadi. 

Adapun nilai-nilai yang disampaikan melalui film maupun video saat ini memiliki pengaruh yang cukup besar bagi para penontonnya. Dengan kata lain, film-film yang syarat pesan moral, semisal ajakan bijak menggunakan internet atau memerangi bullying, akan memberi sumbangsih pemahaman yang baik bagi masyarakat. Walaupun setiap karya diberikan kebebasan, dalam arti tidak membatasi, namun harus ada estetika yang dijaga, agar film-film yang tayangkan melalui berbagai media dapat menjadi tontonan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 

JPK juga turut mengapresiasi karya berupa foto dan video yang dihasilkan oleh EDC yang tidak menimbulkan reaksi negatif oleh para netizen. Bahkan, karya-karya tersebut kerap memberikan manfaat dan pengetahuan yang baru bagi masyarakat.
Share:

Sejumlah Organisasi Galakkan Literasi Media

Baru-baru ini beredar unggahan video kekerasan di sekolah, dan berkonten pornografi di media sosial di Kalimantan Barat. Sejumlah informasi yang tidak bertanggung jawab pun beredar. Simpang siur terkait peristiwa tersebut menyebabkan masyarakat, menjadi bingung. Gerakan literasi media di kalangan masyarakat menjadi sangat penting.
Mudahnya penyebaran informasi yang belum jelas keakuratannya menunjukkan masih minimnya literasi media di kalangan masyarakat. Padahal literasi media amat penting untuk menangkal tindakan tak terpuji di dunia maya. Hal inilah yang melatarbelakangi digelarnya Aksi Solidaritas Kalimantan Barat seperti hoax atau berita bohong, ujaran kebencian, dan perundungan, Minggu (19/11). Aksi tersebut digelar di Car Free Day Kota Pontianak, depan PMI Kota Pontianak 
Helen Manurung, selaku Koordinator Aksi Solidaritas mengatakan gerakan literasi media masih belum banyak berkembang di kalangan masyarakat. Sejauh ini, sudah kerap dilakukan di kalangan kampus dan pemerintahan
“Riset Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi), yang terdiri atas 52 peneliti dan akademisi dari 25 perguruan tinggi di Indonesia, sejak April 2017, kegiatan literasi digital di sembilan kota di Indonesia cukup tinggi. Namun bentuknya masih didominasi ceramah atau sosialisasi, di samping lokakarya dan pelatihan,” katanya.
Aksi ini, diisi oleh orasi, hiburan masyarakat, serta adanya aksi membubuhkan tandatangan sebagai bentuk komitmen untuk tidak menyebarkan informasi hoax atau berita bohong, ujaran kebencian, dan perundungan. Sebagai bentuk publikasi, setiap momen kegiatan akan di unggah ke sosial media dengan tagar #shareyangbaik.
“Jadikan aksi ini sebagai wujud nyata sosialisasi melek media digital yang menyeluruh. Dengan meningkatnya literasi media digital, maka tindakan tak terpuji di dunia maya, bisa kita bendung,” ujar Ashri Isnaini dari Jurnalis Perempuan Khatulsitiwa.
Sementara itu, Komisioner KPAID Kalbar, Nazaruddin Ishak, mengatakan pemanfaatan media sosial, khususnya di kalangan anak-anak cenderung digunakan untuk tampil menunjukan jati diri dan ingin terlihat  popular. Meski tidak selamanya negative, namun penggunanan media maya ini terkadang kurang bijak. Untuk itu edukasi terkait hal ini sangat diperlukan. 
“Edukasi sangat penting untuk adik-adik melihat akses penggunaan medsos yang negatif sangat mudah, sehingga mereka perlu tau efek penggunaan medsos yang tidak bijak," katanya.
Hal ini pun, lanjutnya, bisa mempengaruhi semua aspek kehidupan pribadi, sosial dan kognitif. Penyadaran melalui kampanye perlu dilakukan secara terus menerus. Sebab yang dihadapi adalah lajunya teknologi informasi, yang mana pada sisi lain mereka belom mampu mencerna mana yang baik, dan mana yang tidak. Untuk itu pula perlu peran masyarakat untuk memberikan pembinaan kepada anak-anak. Cara-cara yang digunakan juga harus kreatif mengingat generasi yang dihadapi saat ini tidak sama dengan generasi sebelumnya. “Sebagai orang dewasa perlu melihat sedikit berbeda, bahwa generasi Z sedikit unik, dan kita juga perlu belajar tentang mereka,” pungkasnya.
 Aksi ini melibatkan sejumlah komunitas dan lembaga seperti Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, KPAID, Dinas Pemberdayaan Perempuan Kota Pontianak, Forum Anak (FA) Kel. Banjar Serasan, FA Kota Pontianak, Kader Pendamping Anak Kota Pontianak, Saung Baca, dan Saya Perempuan Anti Korupsi Kalbar. Ada pula, Aliansi Jurnalis Independen, UPT Bahasa Untan, Rumah Esente, Komunitas Wisata Sejarah, Bimbel Lenny, Aksi Sedekah Pendidikan, serta DWP Kemenag Provinsi Kalbar.
Share:

JPK On Air : Internet Sehat dan Cegah Kekerasan

Jurnalis Perempuan Khatulsitiwa (JPK) menjadi narasumber dalam program Shobahul Khiar di Radio Mujahidin 105,8 FM. Talkshow dengan tema cegah kekerasan dan berinternet sehat ini bertujuan mengedukasi masyarakat terutama kalangan pelajar dan anak-anak agar bisa lebih bijak dalam menggunakan internet dan bermedia sosial. 

Selama ini JPK melihat cukup banyak orang yang memposting beragam berita atau informasi yang belum diketahui kebenarannya, bahkan berita hoax pun tak jarang menjadi viral akibat ulah oknum tak bertanggung jawab yang langsung men-share informasi yang didapat. Selain itu medsos menjadi sarana untuk membuli bahkan menjadi ajang untuk melakukan kekerasan seksual. Diharapkan melalui talkshow secara on air, bisa meningkatkan pemahaman bagi masyarakat luas, agar lebih bijak dalam menggunakan Internet termasuk bermedia sosial sehingga bisa menyaring semua informasi yang didapat untuk dilakukan pengecekan ulang untuk memastikan kebenaran info yang didapat.
Share:

Siaran Pers Komnas Perempuan



Alarm bagi Negara dan Kita Semua: Hentikan Femicide (Pembunuhan terhadap
Perempuan)
Jakarta, 13 November 2017


Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) turut berduka dan mengutuk keras kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan yang semakin menggerus rasa aman kita semua. Kasus dr. L, salah satunya, almarhum telah melapor polisi atas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami, tetapi polisi tidak menahan pelaku dan tidak memberikan perlindungan sementara kepada korban. Padahal UU PKDRT menyebutkan terdapat 10 pasal khusus mengatur tentang perlindungan sementara dan perintah perlindungan untuk korban. Pada review 10 tahun implementasi UU PKDRT yang dilakukan Komnas Perempuan, aspek perlindungan dan keamanan korban inilah yang paling lemah dijalankan.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2017 memperkenalkan lebih jauh tentang femicide, pembunuhan perempuan karena dia perempuan. Arti femicide adalah penghilangan nyawa perempuan berhubungan dengan identitas gendernya. Femicide adalah puncak dari KtP (Kekerasan terhadap Perempuan) yang berakhir pada hilangnya nyawa perempuan. Femicide jarang terungkap/dilaporkan karena dianggap korban sudah meninggal. Komnas Perempuan mencatat bahwa femicide minim terlaporkan ke Komnas Perempuan ataupun lembaga layanan, karena dianggap korbannya sudah meninggal, padahal hak asasi seseorang atas martabat, hak kebenaran, hak atas keadilan dan sebagainya, tidak berhenti dengan hilangnya nyawa.

Kasus femicide cenderung hanya dianggap kriminalitas biasa yang ditangani polisi, yang lebih fokus untuk mencari pelaku, minim analisa GBV (Gender Based Violence atau Kekerasan Berbasis Gender) tidak ada diskusi dan kurang perhatian aspek pemulihan korban serta keluarganya. Femicide perlu menjadi perhatian, karena dapat saja terjadi karena tidak dijalankannya fungsi perlindungan korban saat terancam nyawanya, termasuk dalam konteks PKDRT. Femicide terjadi karena kuatnya kuasa patriarki, relasi kuasa antara pelaku dan korban, dan pelaku adalah orang-orang dekat yang dikenal korban.

Pola-pola femicide yang selama ini dianalisa Komnas Perempuan berasal dari data terlaporkan langsung, tertulis, media dan mitra, menunjukkan bahwa femicide dapat disebabkan oleh kekerasan seksual dengan atau berakhir pembunuhan, ketersinggungan maskulinitas seksual laki-laki, kecemburuan, kawin siri yang tidak ingin terbongkar, menghindar tanggungjawab karena menghamili, prostitusi terselubung yang minim pantauan, kekerasan dalam pacaran. Pelaku adalah orang-orang yang dikenal, orang dekat, baik pacar, kawan kencan, suami, pelanggan, dan lainnya. Pola femicide-nya juga sadis dan tidak masuk akal, korban dimasukkan dalam koper, dibuang di bawah jalan tol, terjadi di tempat kost atau hotel dengan kondisi jenazah dihukum secara seksual, dibunuh dalam keadaan hamil, dibuang ke lumpur, jurang dan lainnya.

Komnas Perempuan mencatat 5 kasus pengaduan femicide yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan, kemudian melalui penelusuran kliping di media di tahun 2017 saja, ada sekitar 15 kasus pembunuhan perempuan, termasuk dr. L. Di tahun 2016 kasus-kasus yang mencuat antara lain kasus pembunuhan dan perkosaan berkelompok YY di Bengkulu, kisah korban yang diperkosa lalu dibunuh dengan gagang cangkul menancap di vagina korban, pembunuhan dan kekerasan seksual kepada F anak 9



tahun di Kalideres, Pembunuhan korban yang dibuang dalam kardus di bawah jalan tol, pembunuhan (mutilasi) ibu hamil di Tangerang karena relasi personal janji nikah (eksploitasi seksual).

Pelapor Khusus PBB untuk VAW (Violence Against Women), Dubracka Simonovic, pada tahun 2015, telah menyerukan kepada dunia agar setiap negara membuat femicide watch atau gender related killing of women watch, dan meminta agar data-data tersebut harus diumumkan setiap tanggal 25 November pada Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Data WHO menyebutkan di seluruh dunia 37% pembunuhan perempuan dilakukan oleh intimate partner: suami, pacar, mantan suami, mantan pacar.

Oleh karena itu, melihat banyaknya kasus femicide tersebut, maka sikap dan seruan Komnas Perempuan:

1.    POLRI harus siaga penuh untuk menjaga dan menjamin keamanan pelapor atau perempuan yang terindikasi terancam jiwanya;

2.    Media untuk menghindari viktimisasi pada korban dengan menjaga integritas korban dan keluarganya;

3.    Masyarakat, termasuk keluarga besar, tempat kerja, organisasi, lembaga pendidikan untuk menjadi bagian untuk pencegahan dan perlindungan berbasis komunitas;

4.    Pemerintah untuk menyerukan pendataan yang serius terhadap femicide sebagai acuan agar bisa diambil langkah sistemik untuk pencegahan dan penangannya.

Mari kita semua turut ambil bagian dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan!


Kontak Narasumber:
Mariana Amiruddin, Komisioner (081210331189)
Adriana Veny Aryani, Komisioner (08561090619)
Sri Nurherwati, Komisioner (082210434703)
Yuniyanti Chuzaifah, Komisioner (081311130330)
Saur Tumiur Situmorang, Komisioner (081362113287)
Share:

JPK On KompasTV Pontianak : Kampanye Anti Bullying

Mulai meningkatnya kasus bullying disejumlah daerah pada beberapa waktu terakhir membuat Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) berupaya mengajak semua pihak  untuk lebih peduli dalam mengedukasi masyarakat, khususnya kalangan usia anak-anak dan remaja agar menghindari praktik bullying. Berdasarkan informasi yang dihimpun JPK saat ini angka bulliying sangat tinggi di Indonesia terutama di lingkungan sekolah. 

Melalui Talk show, kampanye termasuk tulisan edukatif terkait anti perudungan disejumlah media massa, tidak hanya membuat kepedulian masyarakat terkait hal ini meningkat namun JPK juga berharap bisa mendorong pemerintah daerah bisa membuat lebih banyak kebijakan yang mampu menekan dan mengatasi kasus bullying. 


Share: