![]() |
Rospita Vici Paulyn (kiri) & Chatarina Pancer Istiyani. IST |
Apa yang terbersit saat
mendengar kata Informasi dan literasi? Pastinya era teknologi seperti sekarang
ini sebagian kita sangat akrab dengan dua kata itu.
Oleh: Chica
Menurut KBBI, informasi adalah penerangan, pemberitahuan atau kabar atau berita tentang sesuatu. Sementara literasi bermakna kemampuan menulis dan membaca. Kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan kecakapan hidup.
Jika kata literasi dan informasi digabung menjadi literasi informasi, maka
dalam pengertian Perpustakaan Perguruan Tinggi mendefinisikan bahwa literasi
informasi adalah kemampuan untuk mengenal kebutuhan informasi untuk memecahkan masalah,
mengembangkan gagasan, mengajukan pertanyaan penting, menggunakan berbagai
strategi pengumpulan informasi, menetapkan informasi yang cocok, relevan dan
otentik.
Memahami makna literasi informasi menjadi kebutuhan semua pihak. Tak heran jika semangat literasi informasi terus digaungkan, mengingat ini erat kaitanya dengan era keterbukaan informasi yang ingin dibangun pemerintah. Banyak tokoh dalam dan luar negeri menjadi pejuang literasi informasi, termasuk tokoh lokal asal Kalbar yang getol memperjuangkan keterbukaan informasi dan literasi kepada khalayak ramai.
Saat ini, informasi sudah
menjadi kebutuhan manusia. Era teknologi, memudahkan informasi untuk didapat.
Namun, informasi harus diimbangi dengan literasi agar informasi tidak salah
kaprah. Ini juga menjadi kerja para pejuang informasi agar selain melek
informasi juga melek literasi. Di Kalbar, ada banyak pejuang informasi dan
literasi.
Sebut saja, Rospita Vici
Paulyn dan Chatarina Pancer Istiyani. Keduanya adalah pejuang informasi dan
literasi yang sama-sama bekerja di Komisi Informasi (KI) Provinsi Kalbar. Sosok
perempuan mereka tidak menghalangi bergerak di lintas organisasi, komunitas,
lembaga untuk mensosialisasikan pentingnya mengetahui informasi yang dibutuhkan
masyarakat. Selain keterbukaan informasi, mereka juga kerap menggaungkan
pentingnya memahami informasi dengan baik dan benar agar tidak salah persepsi.
Rospita dan Chatarina
dijuluki ‘Srikandi Kembar’ Komisi Informasi Kalbar. Tidak hanya berhasil masuk
dalam jajaran KI yang umumnya menjadi ranah patriaki, tapi keduanya terbukti
mampu bertahan hingga dua kali menduduki komisioner KI Kalbar. Bukan tanpa alasan
mereka mendapat julukan tersebut. Beberapa rekan kerja, hingga kolega, lumrah
mendengar julukan tersebut.
Bagaimana tidak, kiprah kedua perempuan tangguh ini bukan hal biasa, mereka mampu mendobrak kebiasaan dengan dibuktikan keduanya mampu menjabat Ketua KI Kalbar dalam periode masing-masing.
Rospita menjabat Ketua KI
dari periode 2017-2019. Lalu terpilih kembali sejak Januari 2021 lalu.
Sementara Chatarina terpilih menjadi Ketua KI tahun 2015-2017 lalu.
Jadi,tak heran melihat prestasi keduanya. Mereka pun cukup aktif dalam perjuangannya merealisasikan Kalbar yang transparan dalam hal informasi publik. Mereka mengabdikan diri mendorong banyak kebijakan terkait transparansi informasi, terutama data instansi pemerintah yang bisa diakses masyarakat secara luas dan berkala.
![]() |
Rospita saat menjadi pembicara di International Women's Day. |
Sejak tanggal 14 Januari 2021 lalu, untuk kedua kalinya ia dipercaya menjadi Ketua KI Kalbar. Tidak hanya itu, ia juga dipercayai menjabat ketua di sejumlah organisasi keperempuanan.
Baginya, status sebagai seorang perempuan tidak menjadi
penghalang bagi profesinya, terutama saat menghadapi sejumlah gugatan terkait
informasi.
![]() |
Rospita berbicara dalam sharing keterbukaan informasi dan literasi |
Nah, tokoh perempuan pejuang informasi lainnya adalah Chatarina Pancer Istiyani. Ia merupakan, Koordinator Penyelesian Sengketa Informasi Publik pada Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat.
Wanita kelahiran Sleman ini merupakan aktivis sekaligus peneliti di sejumlah lembaga dan institusi. Memiliki kemampuan komunikasi yang sangat baik memudahkan ia masuk dalam jajaran perempuan Kalbar yang diperhitungkan, mengingat kontribusinya bagi daerah, terutama dalam membela hak-hak perempuan, lingkungan dan literasi informasi.
Ia gemar membaca dan hobbi menulis.
Sejumlah buku sudah ia karyakan, seperti ‘Tubuh dan Bahasa’. Buku ‘Mozaik Dayak:
Keragaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat’. Buku Berjudul ‘Memahami
Peta Keragaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat’. Buku ‘Senator di
Perbatasan’ hingga menulis kisah parlemen perempuan ‘Profil Perlindungan
Perempuan Kalimantan Barat’.
![]() |
Chatarina saat diwawancarai sejulah media |
Ia menganggap perempuan sangat
pantas masuk dalam bingkai kesuksesan dibidangnya masing-masing. Masuk sebagai
komisioner KI menjadi pembuktian bahwa perempuan bisa sukses jika mau
bersungguh-sungguh dengan komitmen yang ada.
Menurutnya, ada andil para
perempuan dalam pewujudan keterbukaan informasi public di Kalbar, ada
perjuangan merebut hak untuk tahu, dan juga berbagai kisah dan peristiwa
lainnya.
Ia masih ingat jelas saat perjuangannya terlibat dalam pembentukan KI Kalbar. Andil para Srikandi, terutama para aktivis perempuan Kalbar yang getol dalam memperjuangkan keterbukaan informasi.
Diakui, menjadi penggiat informasi dan literasi bukan pekerjaan gampang, kegigihan saat berhadapan dengan laporan hingga masuk area persidangan jadi bagian rutin komisioner ini.
Adanya UU Keterbukaan Informasi tidak lantas membuat tugas menjadi mudah, tetapi justru makin banyak tantangan, terutama bagi badan publik yang belum siap dalam meng-up date data terbaru.
Sementara masyarakat yang mengetahui adanya UU ini menuntut informasi menyeluruh. Diakuinya, ada beberapa informasi yang harus disampaikan setiap saat. Ada juga informasi yang disampaikan secara berkala minimal enam bulan sekali, khususnya anggaran yang menjadi sorotan masyarakat.
![]() |
Chatarina saat memberikan materi keterbukaan informasi publik |
Dalam dedikasi mereka, perempuan tidak boleh cengeng hanya karena jauh dari rumah saat tugas harus diselesaikan. Perempuan harus bisa membuktikan diri bahwa mampu mengatasi tekanan, persoalan dan putusan yang harus segera diambil. Intimidasi dan diskriminasi tidak membuat mereka takut, meskipun ancaman maupun tekanan menjadi hal biasa dalam pekerjaannya itu.
“Jika akses untuk
mendapatkan informasi publik terhalang, jangan heran jika pemahaman akan
literasi yang ingin kita bangun lewat keterbukaan informasi akan semakin sulit.
Kita makin terhambat, masyarakat bingung untuk mencari informasi kemana,
makanya kita hadir agar seluruh instansi pemerintah transparan dalam memberikan
informasi,” ujarnya.
Menurut mereka, masalah informasi publik ini harus sampai kepada masyarakat ditataran terendah sehingga literasi masyarakat pun bisa baik dalam melihat informasi yang ada.
Informasi publik,
terutama menyoal anggaran, pendidikan, sosial dan kesehatan adalah yang paling
banyak dicari, terutama oleh kalangan perempuan karena yang memiliki dampak
langsung informasi tersebut. Literasi yang kurang akan informasi publik membuat
ia dan rekannya di KI melakukan sosialisasi kepada perempuan agar melek dalam membaca
informasi yang ada.
“Literasinya yang terus kita
asah dalam membaca informasi pubik yang mereka butuhkan,” ujar Pita.
Baik Pita dan Chatarina
mengakui, banyak tantangan yang mereka dihadapi. Berbagai kasus sengketa informasi
melibatkan banyak pihak dari kepolisian hingga lembaga daerah menjadi hal biasa
baginya. Dalam hukum, tidak ada yang namanya perbedaan perempuan dan laki-laki,
jika tidak kompeten dibidangnya maka akan sulit menghadapi persoalan yang ada.
“Bagi kita, ini bukan halangan. Perempuan atau tidak, kita berjuang dalam bidang kita masing-masing. Perempuan duduk di dalam sidang, apalagi yang berjuang agar informasi bisa transparan sehingga literasi bisa terjadi. Menjadi kehormatan tersendiri dan saya, sebagai seorang perempuan pastinya bangga,” ungkap Chatarina.
Akses informasi yang sulit membuat banyak perempuan tidak bayak yang paham apa yang menjadi hak mereka. Perempuan adalah korban pertama ketika informasi sulit mereka dapat. Ini merupakan perjuangan perempuan dalam memastikan informasi, terutama yang bersifat publik bisa mereka akses.
Dengan tugas yang seabrak tidak membuat dua srikandi ‘kembar’ ini lelah, mereka cukup aktif dalam mesosialisaiskan di tingkat kota, kabupaten hingga desa pelosok Kalbar.
Belum lagi sosialisasi antar pulau di sejumlah daerah pedalaman Kalbar menjadi dedikasi sekaligus hiburan manis di tengah pesan-pesan edukasi yang mereka bawa. Bertemu banyak pihak, organisasi kepemudaan, perempuan maupun lintas agama, menjadikan mereka kaya akan pengalaman. Lebih memahami persoalan masyarakat pelosok akan kebutuhan informasi.
Saat ini banyak kerja-kerja penguatan informasi dan literasi menjadi pekerjaan rumah, mengingat kawasan Kalbar yang luas, ditambah jalur transportasi dan komunikasi yang masih sulit.
Warga pedalaman sama nasibnya dengan warga yang tinggal di perbatasan Kalbar-Malaysia. Mereka membutuhkan informasi untuk kelancaran kerja dan tugas mereka.
Bagi Pita dan Chatarina, ini adalah tugas wajib mereka saat terpilih menjadi komisioner KI Kalbar. Bukan hanya tugas, tapi dedikasi dalam memberikan kebutuhan informasi publik warga. Meskipun ke depan akan lebih banyak tantangan. Seperti ungkapan Kartini dalam bukunya ‘Habis Gelap, terbitlah terang’.
Sangat menginspirasi ini.
BalasHapus