![]() |
Direktur Lembaga Gemawan, Laili Khairnur |
Laili Khairnur, Direktur Lembaga Gemawan begitu getol memperjuangkan nasib kaum perempuan, terutama di pedesaan. Dia hadir bersama Lembaga Gemawan yang berjuang untuk kedaulatan politik rakyat, kemandirian ekonomi rakyat, karakter budaya lokal, keadilan ekologis dan kesetaraan gender. Fokusnya adalah menyuarakan suara-suara yang tidak bisa bersuara. Yaitu para kelompok lemah.
Oleh: Yuli S
"Ini penting untuk menyuarakan suara-suara mereka, supaya ada perubahan, tak hanya untuk kita sendiri tapi juga bagi perempuan lain,” tuturnya.
Lahir sebagai putri ke empat dari lima bersaudara. Ayahnya, H Tajuin Sulung adalah seorang guru di Kabupaten Sambas. Sejak SMP dirinya sudah senang membaca. Tamat SMA perempuan ini melanjutkan pendidikan di Jogja, pilihannya adalah IAIN jurusan pendidikan Islam. Sifat kritisnya dimulai dari sini dengan menjadi aktivis hingga bergabung dalam HMI dan betah di Lembaga Gemawan. “Saya itu, paling senang berinteraksi dengan orang,” ucapnya.
Sejak kecil sudah punya keinginan menjadi Duta Besar. Lantaran profesi itu, seperti yang disaksikannya di layar televisi, merupakan juru bicara atau perwakilan suatu negara. Nah, profesi yang dilakoninya sekarang, yakni menjadi aktvis dan penggerak Lembaga Gemawan terasa klop sudah.
Lembaga Gemawan berdiri mulai 1997, diawali dari diskusi-diskusi. Lantas secara legalitas dimulai pada 1999. Sementara Laili menggabungkan diri sejak 2001 sebagai volunteer atau tenaga sukarelawan. Kini dia didapuk sebagai Direktur Gemawan dan kian menguatkan perjuangannya terhadap kaum hawa.
Program Gemawan
sendiri fokus pada isu terkait pengelolaan sumber daya alam berbasis
masyarakat, isu anti korupsi dan pemberdayaan perempuan. Kesemuanya menjadi mainstreaming, jadi perspektif selalu
ada perempuannya. Program yang khusus perempuan, lebih banyak mendorong
kelompok perempuan di tingkat desa, kemudian menjadi organisasi perempuan di
tingkat kabupaten.
Mereka rutin
melakukan diskusi dengan berbagai tema atau isu yang ada di sekitar mereka
untuk membangun kesadaran dan pemberdayaan, bahwa perempuan itu, dengan
berbagai haknya bisa diekspresikan. Progam lainnya adalah fokus training pengelolaan SDM, di antaranya
adalah usaha kecil perempuan dan lainnya.
Ada tujuh
kabupaten dan dua kota yang kerap disambangi Laili Khairnur. Yaitu, Kabupaten
Sintang, Sambas, Kapuas Hulu, Kayong Utara, Mempawah, Kubu Raya, Kota
Singkawang dan Kota Pontianak. Semua daerah ini fokus pada isu perempuan,
kecuali Kota Pontianak.
Kata Laili,
perempuan-perempuan di kampung tidak punya informasi, tapi sebenarnya ada
informasi. Nah ini yang harus digali. Mereka diberikan peningkatan kapasitas, training kepemimpinan, edukasi, packaging bagi yang punya usaha,
marketing hingga pengelolaan produk turunan yang mereka miliki.
Bagi kasus
tertentu, semisal saat pandemi Covid-19, ada juga bantuan yang digulirkan.
Terutama untuk mereka yang terdampak langsung, seperti tak bisa bekerja lagi
karena kondisi pandemi, bantuan keuangan, bibit atau bantuan mesin pencacah
rumput dan sebagainya.
Kerjasama dengan
instansi pemerintah juga dilakukan. Di antaranya di Kabupaten Sambas, berkenaan
dengan perempuan penenun. Produk tenun mereka dikampanyekan dan didaftarkan.
Hasilnya, usaha menenun mereka kini sudah melanglang hingga nasional bahkan
internasional, mereka berpameran di Malaysia, dan malah sudah diakui Unesco.
“Di Sintang,
perempuan petani yang memproduksi beras hitam, kini sudah menjadi komoditi
prioritas Pemerintah Daerah. Banyak lagi yang kami lakukan dalam
memperjuangkan dan mengangkat kehidupan perempuan di pedesaan. Mereka kini
malah menjadi penggerak pembangunan di desa. Karena hampir 50 persen desa itu
adalah perempuan, jadi harus ada perwakilan mereka,” tegasnya.
![]() |
Kelompok Petani Perempuan memulai penanaman padi. |
![]() |
Petani perempuan mengurusi lahan pertanian. |
Sepak terjang Laili dalam memperjuangkan kaumnya patut diacungi jempol. Dia pantang takut dalam
menghadapi situasi yang sulit sekali pun. Pernah di suatu desa, ketika dia
hendak membangun kelompok perempuan, dia harus berhadapan dengan para suami.
“Ya, ketika itu
kita nginapnya di sebuah hotel. Para suami dari ibu-ibu yang hendak kita ajak
membangun kelompok perempuan menaruh curiga. Ngapain perempuan-perempuan di hotel, begitu kata mereka. Tapi
setelah kita jelaskan dan mereka menyaksikan sendiri proses pembelajaran yang
kita berikan, baru mereka percaya. Sekarang malah mereka yang mengantar
istrinya,” ceritanya sambil tersenyum mengenang.
Pengalaman tak
enak itu, juga kerap berulang di desa lain, seperti di Kubu Raya atau di
Sambas. Awalnya mereka heran dan bertanya-tanya, kegiatan kaum perempuan
berkelompok hanya menghabiskan waktu dan tak jelas. Karena ada kepercayaan bagi
orang kampung, bahwa perempuan hadir dalam sebuah forum itu tabu. Memang butuh
kesabaran untuk meyakinkan dan membuktikan hasil akhir dari perjuangan
tersebut.
Di sebuah desa di
Kabupaten Sintang, lain lagi ceritanya. Kehadiran Gemawan untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat, ditolak mentah-mentah. Pasalnya, produksi beras mereka
yang berlebihan disarankan untuk dijual saja. Namun menurut mereka, di kampung
mereka, tidak ada tradisi menjual beras karena mereka sudah berkecukupan. Terlebih
jika itu dilakukan, bakalan membawa petaka ke kampung mereka. Mereka juga tidak
menerima bantuan.
“Kita menghormati
budaya setempat. Ini menjadi pembelajaran juga bagi kami di Gemawan, bahwasanya
ketika kita melaksanakan program, mustinya memperhatikan hal-hal tersebut
terlebih dahulu. Kita harus menghormati budaya setempat. Karenanya kita mundur
dan mengakui kesalahan kita,” jelasnya.
21 tahun
menyatu dalam Lembaga Gemawan, dirinya merasa lega. Banyak pengalaman
suka duka yang dirasakannya. Kini dia sudah bisa melihat hasil perjuangan yang
dilakukannya. Sudah banyak kaum perempuan di desa yang terangkat kehidupannya.
Sudah banyak kaum perempuan yang tampil dalam forum. Banyak pula usaha kaum
perempuan yang meningkat. Begitu pula pendidikan anak-anak perempuan, sudah
jauh lebih baik, akses pun sudah terbuka.
![]() |
Satu di antara kegiatan yang dilakukan Laili bersama Gemawan. |
![]() |
Laili Khairnur (kanan) saat menjadi pembicara Diskusi Perempuan. |
Namun perjuangan belum berhenti, meski sudah terjadi peningkatan tapi bukan berarti persoalan selesai. Karena sistem patriarki itu selalu ada. Di samping perempuan yang beruntung dan sukses, tetap masih ada yang belum beruntung.
“Jangan anggap,
bahwa semua sudah terselesaikan. Tetap ada masalah di lapangan, terutama bagi
mereka yang belum beruntung dan jauh dari akses informasi pendidikan. Masih
banyak anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah, tidak kuliah tapi sudah merasa
cukup. Bahkan ada yang berpikiran anak perempuan tunggu menikah, maka selesai
tugas orangtua. Padahal tidak seperti itu,” tegasnya.
Menurut dia, walau
peluangnya semakin besar. Artinya, itu bukan terjadi dengan seketika, tetapi
dimulai dengan perjuangan dari banyak elemen, dari kelompok masyarakat yang
konsen dengan isu perempuan.
“Banyak perempuan
yang menganggap ketika sudah berhasil, maka persoalan yang dihadapi perempuan
lain selesai. Coba lihat dan turun ke lapangan, lihatlah realitanya, saya yakin
pasti ada. Bahkan saya sendiri yang sudah benar-benar terbebas dari yang
namanya ketidakadilan, tetap yakin tidak seratus persen tidak ada hambatan
lagi,” katanya.
Dia berharap,
perempuan yang beruntung sudah berhasil, bisa terus menyebarkan keberhasilannya
kepada orang lain, agar orang lain juga bisa menikmati keberhasilan yang sama.
“Mari bantu perempuan lain,” imbuhnya.
Aksi perjuangan
Laili Khairnur diapresiasi banyak orang, salah satunya adalah Umi Kalsum. Kepala
Sekolah SMP di Kabupaten Kubu Raya. Umi mengakui sering mendengar dan
menyaksikan, kegiatan kaum ibu yang dipelopori oleh Gemawan.
“Ibu-ibu di
kampung yang awalnya tak punya kegiatan dan tak berani tampil, saya lihat
sekarang sudah banyak yang mandiri, mereka berkegiatan dan mampu berbicara
dengan cerdas,” ucap Umi.
Dia bilang, ada
beberapa keluarga dan kenalannya ibu-ibu di kampung yang merasa terbantu dengan
program Gemawan, terutama dalam memotivasi mereka agar ikut berkiprah dalam
pembangunan, khususnya membangun diri sendiri dan keluarga.
“Kegiatan seperti
ini, kita harap terus berlanjut, agar kaum perempuan kita, terlebih yang berada
di pedesaan, tidak kalah majunya dengan yang berada di kota,” katanya.
Lain lagi komentar
Netty Kamiso, ibu tiga anak yang sering bolak balik Kayong Utara – Pontianak.
Di Kayong Utara, meski tak ikut langsung kegiatan kaum ibu, lantaran
kesibukannya berbisnis, namun dia mendukung program Gemawan dan kegiatan yang
dilakukan dalam penguatan kaum perempuan di pedesaan.
“Ada beberapa
kawan saya, yang ikut kegiatan Gemawan di Kayong, mereka membentuk kelompok
perempuan di lima desa, agar berpartisipasi aktif di bidang ekonomi, sosial, pembangunan dan
lainnya,” kata Netty.
Menurut Netty, apa
yang dilakukan Gemawan terhadap kaum perempuan di pedesaan sangat positif.
Ibu-ibu di sana sekarang sudah semakin maju dan tak minder lagi untuk tampil.
Kata Netty,
temannya dari Desa Seponti Jaya, mengaku senang dengan kehadiran Gemawan serta
memfasilitasi pembentukan kelompok perempuan. Baik Netty dan teman-temannya di
desa, berharap agar program-program Gemawan dapat terus meningkatkan potensi
yang dimiliki kaum perempuan, sekaligus meningkatkan perekonomian mereka. **
0 comments:
Posting Komentar