Magdalena: PEKKA Tempat Para Wanita Tangguh Bertransformasi

 

 


Oleh: Susilawati

Sejak berdirinya organisasi Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di akhir tahun 2000, tak sedikit perempuan Kalbar, melabuhkan pada organisasi berbasis komunitas perempuan ini. Tak hanya di Kalbar, PEKKA juga merambah hingga pelosok negeri dan lebih kurang 60.000 perempuan dari berbagai kalangan bergabung menjadi bagian dari serikat PEKKA.


Meski banyak kalangan ibu rumah tangga yang menjadi anggotanya, PEKKA pada dasarnya diperuntukkan bagi kepala keluarga perempuan, terutama para janda yang ditinggal sang suami hingga yang ditinggal begitu saja tanpa kabar apalagi nafkah.    

PEKKA tidak hanya diisi oleh perempuan biasa, tapi kebanyakan yang bergabung adalah perempuan hebat, pejuang rumah tangga. Status janda tidak lantas menghalangi kiprah mereka dalam berorganisasi dan memapah tugas kemasyarakatan.  Mereka lantas bertransformasi menjadi lebih sadar akan kualitas yang ada dalam diri.

Mengenal lebih dekat PEKKA pastinya tidak lepas dari kiprah para penggerak dibelakangnya. Para wanita tangguh yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan akses sosial untuk perempuan. Tak hanya akses sosial dalam hal pelayanan tapi bagaimana perempuan juga berkontribusi dalam pembangunan di wilayah terdekatnya.

Satu sosok ini, tak hanya dikenal piawai dalam berorganisasi tapi siapa sangka ia hanya ibu rumah tangga biasa. Ia adalah Ketua Federasi Serikat PEKKA Nasional asal Kalbar, Magdalena. Kiprahnya melebihi statusnya yang tak tamat sekolah menengah atas.  

Magdalena bersama Andy F Noya 'Kick Andy'


Ia bergabung di PEKKA 13 tahun silam. Tepatnya tahun 2007 lalu. Memberanikan diri mendaftar menjadi anggota baru. Tak susah masuk ke PEKKA, cukup memiliki semangat untuk meningkatkan kualitas diri, belajar dan mengamati lingkungan yang sarat akan diskusi dan pelatihan ini, maka tak butuh lama untuk berkembang dan menemukan jati diri. Di sana, ia ditempa tak hanya ilmu tatapi terlibat praktek dan aktif di sejumlah kegiatan PEKKA.

Unit PEKKA cukup banyak dari mulai koperasi anggota, pelatihan hingga kerjasama dengan pemerintah, terutama kerjasama yang melibatkan para anggota PEKKA itu sendiri. Menjadi mandiri dan mampu bertahan menghidupi keluarga adalah motto para anggotanya. Meskipun berstatus janda ia tak minder, mengingat bukan hanya ia saja yang memiliki status serupa tapi banyak anggota PEKKA yang memiliki cerita hidup sendiri, termasuk dirinya.


Magdalena bersama Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan


 “PEKKA itu isinya beragam. Kumpulan para janda yang ditinggal baik bercerai atau meninggal, suaminya yang tidak pulang-pulang, suami yang merantau pulang tiga tahun sekali,  suami yang sakit dan tidak bisa mencari nafkah dan harus banting tulang, yang masih belum menikah dan menjadi tulang punggung keluarganya atau mereka yang sengaja ingin bergabung untuk belajar berorganisasi,” paparnya.

Di PEKKA ia dan rekan-rekannya  tidak hanya terlibat dalam persoalan perempuan saja tapi juga aktif bekerjasama dengan pemangku kebijakan di tingkat desa.

“Di sini juga kita bisa mengembangkan diri supaya mendapat ilmu, mengorganisir, kepemimpinan, pemberdayaan ekonomi, dengan lembaga hukum, pendampingan kesehatan, pendidikan karena kami memiliki sejumlah PAUD,” ujar Magda.

Semua ia lakukan mulai dari bawah. Menjadi anggota, kemudian menjadi bendahara kelompok. Tak butuh waktu lama ia menjabat sebagai ketua koperasi PEKKA Mandiri Kecamatan Sungai Raya di tahun 2008. Tahun berikutnya, 2009, ia menjabat sebagai Ketua PEKKA tingkat kecamatan dan di tahun 2013 Magda pun didapuk menjadi Ketua PEKKA Kubu Raya. Akhirnya, tahun 2016 ia  dipercaya sebagai Ketua Nasional mewakili Kalbar untuk seluruh Indonesia.

“Ini saya dedikasikan untuk semua perempuan desa yang tidak berpendidikan tinggi tapi optimis dan pantang menyerah,” ucapnya.


Program PEKKA diselaraskan dengan kepentingan masyarakat. 


Berbagai program PEKKA sangat menekankan kepentingan masyarakat, tidak hanya menyoal perempuan. Seperti PEKKA bekerjasama dengan pemda setempat untuk membantu masyarakat miskin yang tidak memiliki buku nikah. Program bansos ini mentikberatkan kepada layanan hukum, pelayanan terpadu yang satu atap. PEKKA juga melibatkan pegadilan agama untuk isbat nikah. Nantinya, mereka mendapatkan buku nikah gratis.

Tak haya itu, PEKKA juga terlibat dalam pendampingan masyarakat miskin untuk akses kepemilikan Kartu Indonesia Sehat (KIS).

“Kita libatkan para anggota PEKKA untuk mengurus kerjasama. Kita sudah beri mereka ilmu, kemudian dipraktekan lewat kerjasama ini dan pastinya mereka sangat membantu program pemerintah, terlebih mereka juga aktif membangun desanya,” ungkap Magda.

Saat ini Magda lebih banyak menghabiskan waktunya di Jakarta. Sebagai pengurus nasional yang membawahi anggota di 20 provinsi, dari 57 kabupaten se Indonesia, banyak hal sudah ia lalui. Dari hal senang hingga hal yang membuat sedih.

Senangnya kata wanita paruh baya ini ketika bertemu banyak orang, saling belajar tentang organisasi lain di luar PEKKA. Sedihnya, ia tidak bisa mengurus ke tiga anak mereka dan tak bisa memantau aktivitas ketiga buah hatinya setiap hari. Namun, ia sadar untuk mengelola organisasi secara serius banyak hal harus ia relakan dan belajar untuk bisa berkompromi. Antara karir dan keluarga.

Masih banyak kerja yang harus ia dan rekan-rekan PEKKA seluruh Indonesia lakukan, terutama lebih banyak para perempuan bergabung untuk aktif dalam berorganisasi. Butuh keberanian untuk memulai sesuatu, begitu juga para perempuan yang ingin meningkatkan kualitas dan kemampuan. Bukan hanya untuk pribadi tapi lebih dari itu kepuasan dan pembuktian bahwa perempuan mampu berdikari dan bermanfaat. Itu yang dibuktikan Magdalena. Ke depannya akan banyak sososk-sosok lain seperti dirinya yang mampu mengisnpirasi banyak perempuan. (*)

Share:

Masjid Perempuan, Lahirkan Pemikir Spiritual yang Cerdas dan Madani


Mirani Mauliza saat memberikan ceramah terkait sejumlah persoalan perempuan.

Oleh: Yuli


Namanya Mirani Mauliza. Berusia 39 tahun dan cukup dikenal di kalangan perempuan Kota Pontianak dan sekitarnya, terutama para muslimah yang menjadi followers setianya dalam kajian, diskusi hingga pelatihan keperempuanan. 

Mottonya ' Jadilah perempuan cerdas tak sekadar pintar. Cerdas secara spiritual dan pemikiran’. Semua dibahasnya, mulai dari isu rumah tangga, ekonomi keluarga, ketahanan dalam keluarga hingga pemberian pelatihan usaha gratis kepada para perempuan agar mandiri dan terlatih.

Ia sosok perempuan mengispirasi di bidang dakwah. Tak banyak da’i perempuan seperti Mirani. Dakwahnya menyasar kaum perempuan yang rentan dan labil dalam hal pemikiran dan mudah terpengaruh. Setiap ceramahnya selalu tegas, jelas dan solutif, Ini dirasa pas untuk menguatkan mental perempuan yang tertimpa persoalan domestik akhir-akhir ini.

Pada Maret 2021 lalu, dia mulai mewujudkan mimpinya untuk pembangunan kawasan peradaban wanita yang dimulai dengan pembangunan sebuah Masjid yang diberi nama Masjid Al Hijrah. 

TAMPIL dalam berbagai seminar dan pengajian khusus bagi kaum perempuan, Mirani Mauliza kini menjadi inspirasi bagi banyak perempuan di belahan bumi Nusantara. Tak hanya di Pontianak, tempatnya menetap bersama suami serta ketiga buah hatinya, Mirani juga kerap melanglang di banyak daerah. Lebih dari seratus kota di Indonesia, hanya untuk membagi pengalaman, memberi pencerahan dan menjadi inspiratif.

Aktivitasnya tak hanya menjadi narasumber, memberi pencerahan lewat pengajiannya, aksi nyata juga ditunjukkan dengan memperhatikan anak-anak yatim serta para santri dengan membagi sedekah secara rutin, hingga memberangkatkan umroh.

Perjalanan hijrahnya dimulai tahun 2016, sejak ia menerbitkan buku Hijrah Ekstrem yang menjadi best seller. Buku ini mengisahkan perjalanan hidup Mirani yang penuh warna, hitam dan putih. Badai kehidupan yang sempat membuat perempuan kelahiran Medan 17 Desember 1982 ini putus asa, namun diakhiri dengan kebahagiaan dan rasa syukur. 

Kesadaran dan rasa sujud menyerahkan diri sepenuhnya kepada Sang Maha Kasih, Allah SWT membuat perempuan yang hobi membaca dan traveling ini bangkit, dan bertekad menyebar kebaikan bagi semua orang, terutama bagi kaum hawa. Ia pun memilih menjadi inspirator ketimbang ustadzah. Keputusannya didukung sang suami Adi Pratama Larisindo, pimpinan Pondok Munzalan Ashabul Yamin, serta pengasuh Pondok Digital Pontianak.

"Saya hanya ingin hidup saya bermanfaat bagi banyak orang. Saya ingin rahmatan lil’alamin, menyebarkan kebaikan dan membuat bahagia orang-orang yang berada di dekat saya. Dari keluarga, suami, anak-anak, mertua dan siapapun,” tutur Mirani.

Mirani dalam kegiatan dakwah yang dijalankan hampir setiap hari.

Karena tekad itulah, waktunya banyak dihabiskan untuk banyak kegiatan. Dari pagi hingga sore, ia harus mengisi panggilan ceramah atau seminar di berbagai daerah. Dia ingin menjadi perempuan yang produktif yang bermanfaat bagi orang lain. Urusan waktu, menjadi sesuatu yang musti dikelola secara kualitas.

Meski hanya punya waktu sedikit bagi keluarga dan ketiga anaknya, Mirani betul-betul memanfaatkannya secara baik, dan mereka bahagia karena mendapatkan waktu terbaik bersama.

Menurut dia, seorang perempuan harus produktif. Kalau menjadi wanita karir, maka jadilah yang terbaik. Begitu pula menjadi ibu rumah tangga, haruslah menjadi ibu rumahtangga yang produktif. Wanita produktif bagi Mirani, adalah wanita yang punya karya, wanita yang bertanggung jawab terhadap dirinya dunia dan akhirat. “Apapun yang kita lakukan, totalitaslah,” imbuhnya.


Mirani saat memberikan motivasi agar perempuan tidak hanya
  harus pintar tapi juga cerdas juga dalam pemikiran

Dari pandangan Mirani, dia melihat banyak perempuan yang masih rentan dan labil. Terlebih di jaman teknologi yang menjadi pendukung aktivitas, dari positif hingga negatif.
Kondisi seperti inilah yang menguatkan Mirani untuk rajin menggelar pengajian-pengajian di berbagai tempat. Setiap malam Rabu, pengajiannya selalu dipenuhi perempuan dari berbagai usia, sebagian besar ibu rumahtangga. Pengajian yang berlabel Meet and Greet ini bisa diikuti hingga 400-an peserta.

Tak hanya mengkaji ilmu Islam, Mirani juga mengajak kaum perempuan untuk berpikir cerdas. Cerdas secara spiritual, cerdas juga dalam pemikiran. Intinya, perempuan harus mampu mengubah dirinya menjadi sosok yang berkualitas.

Perhatiannya terhadap kaum perempuan, memunculkan ide pendirian masjid atau mushola. Untuk merealisasikannya itu, ia pun sedang membangun masjid khusus perempuan tepatnya suatu kawasan peradaban muslimah, yang tak hanya tempat untuk mengisi kajian dakwah tapi juga tempat diskusi, pelatihan, pendidikan hingga nantinya melahirkan perempuan muslimah yang cerdas spiritual dan pemikiran. 

Tak hanya sekedar masjid tapi beragam aktivitas perempuan. Tempat di mana kaum perempuan selain bisa produktif, juga mampu meningkatkan iman dan tauhid.
Bangunan itu diberi nama Kawasan Peradaban Muslimah Al Hijrah. Lokasinya di Jalan Aloevera, Pontianak Tenggara, Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Lahan seluas 1.320 meter persegi itu, akan didirikan bangunan tiga lantai seluas 40 kali 17 meter persegi.

Mirani melakukan peletakkan batu pertama pembangunan
 'Kawasan Peradaban Muslim Al Hijrah pada Maret 2021 lalu. IST

Peletakan batu pertamanya sudah dilakukan bulan Maret 2021 oleh Wakil Gubernur Kalbar Ria Norsan, Walikota Pontianak Edi Kamtono serta beberapa pejabat daerah. Bangunan ini, diperkirakan membutuhkan anggaran sekira Rp 14 miliar. Pengerjaannya diharapkan bisa dituntaskan paling lama dua tahunan.

Arsitektur bangunan yang diinginkan Mirani begitu megah dan unik. Mirip sebuah perahu layar, berciri khas wanita, dengan ukiran bunga serta warna keemasan. Isi bangunan, antara lain masjid umum ikhwan dan akhwat, kawasan ramah muslimah dan anak, hall berkapasitas 500 orang. Ada pula kolam renang muslimah, fasilitas manasik umroh, rumah hijrah, rumah santri penghapal Quran khusus akhwat, perpustakaan, taman kajian santri, sport center dan lainnya, dilengkapi kawasan free wifi.

Desain unik Kawasan Peradaban Muslimah Al Hijrah. IST

Untuk Kawasan Peradaban Muslimah Al Hijrah, Mirani meracik program-program khusus, di antaranya kajian muslimah, kajian samawa, tahfidz class, entrepreneur class, public speaking class, beauty class, cooking class, healty class dan hijrah peduli.

Bentuk bangunannya yang indah dan modern itu, ternyata sudah mengalami delapan kali perubahan yang dilakukan oleh Mirani sendiri. Dia ingin kesan masjid tidak terlalu mencolok, sehingga membuat orang tertarik serta betah berada di dalamnya. Selain ibadah, banyak ilmu yang bisa digali dari sini. Konsepnya memang perempuan banget, tapi tidak menutup pintu untuk kehadiran lelaki.

Masalah pembiayaan yang lumayan besar itu, Mirani tak terlalu pusing. Dia membuka kesempatan masyarakat untuk ikut berdonasi, menambah pahala dengan berinfaq. Selebihnya, minta sama Allah. “Kalau Allah mau, sekejap saja bangunan ini kelar,” kata Mirani.

Kawasan Peradaban Muslimah Al Hijrah menjadi yang pertama di Indonesia. Berpusat di Kota Pontianak yang diharapkan menjadi trendsetter, selanjutnya akan ada di beberapa kota lainnya. Menurut Mirani, Al Hijrah akan dibangun di 13 kota di seluruh Indonesia. 

Ketua DMI (Dewan Masjid Indonesia), Ria Norsan mengapresiasi serta memberikan dukungannya atas pembangunan Kawasan Peradaban Muslimah Al Hijrah. “Ini sangat menarik dan patut diapresiasi, karena selain menyediakan tempat beribadah bagi umat muslim juga menjadi wadah pengembangan entrepreneur para wanita muslim,” tutur Ria Norsan yang juga merupakan Wakil Gubernur Kalimantan Barat.

Dia bilang, tempat ini dibangun karena ingin mengajak umat muslim melakukan kebaikan. Hal positif lainnya adalah mengembangkan pelatihan entrepreneur khusus untuk perempuan. Ria Norsan juga berjanji akan membantu pembangunannya adalam bentuk dana hibah.

Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono juga menyatakan dukungannya terhadap upaya yang dilakukan Mirani, dalam meningkatkan iman dan tauhid para wanita, yang sekaligus membuka peluang usaha sekaligus menjadi pengusaha sesuai bidang yang diinginkan.
“Kita dukung yang dilakukan Mirani dalam mengubah pola pikir para wanita, mengedukasi mereka menjadi lebih produktif dan berkualitas,” kata Edi Kamtono.

Kawasan Peradaban Muslimah Al Hijrah yang pertama di Pontianak, bahkan di Indonesia ini akan menjadi kawasan yang ramah wanita dan anak. “Ini sangat menginspirasi, tidak hanya bagi orang Pontianak tapi juga seluruh umat Islam di Indonesia,” katanya. (**)


Share:

Didik Ibu Rumah Tangga Jadi Penggerak Perubahan

 

 

Nani Zulminarni Pendiri sekaligus Direktur PEKKA saat memberikan sambutan dalam wisuda Akademi Paradigta

Akademi Paradigta, Sekolah Perempuan Desa

Siang ini, saya diundang menghadiri rapat harian para ‘emak’ alias ibu-ibu yang tergabung dalam pengurus dan alumni Akademi Paradigta, di Desa Sungai Ambangah, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Akademi Paradigta adalah sekolah atau tempat belajar perempuan, yang ditujukan bagi kader-kader desa, baik aktif maupun yang belum aktif terlibat di desa agar lebih mengenal desanya.

Oleh: Wati 

Butuh 27 KM untuk mencapai lokasi atau satu jam ke desa tersebut dari pusat Kota Pontianak. Sesuai kesepakatan, pertemuan akan diadakan di Balai Desa Sungai Ambangah. 

Saya pribadi belum pernah datang ke Desa Sungai Ambangah Kubu Raya itu. Terbesit, karena jarak kabupaten tidak jauh dari wilayah pusat ibu kota provinsi, Kota Pontianak, tentu tak berbeda kondisinya dengan wilayah kota, ramai orangnya, dan lapang jalannya.

Perlu diketahui, Desa Sungai Ambangah merupakan salah satu desa di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya dengan luas wilayah 31.630 km².

Memiliki lima dusun, 8 RW dan 34 RT. Jumlah penduduk mencapai 6.021 jiwa dengan 3.097 laki-laki dan 2.924 perempuan. Rata-rata penduduknya bekerja sebagai petani dan bercocok tanam.

Untuk menuju desa bisa menggunakan dua rute. Bisa rute air atau darat. Saya lebih memilih jalur darat, mengingat perkiraan awal kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi di tengah kota.

Makin menuju desa, jalan mulus berubah menjadi jalan bebatuan dan sempit. Tidak sesuai perkiraan diawal tapi kabar baiknya, di sepanjang jalan, saya disuguhkan dengan pemandangan hijau area persawahan dan hutan. Pemandangan hijau pastinya menyegarkan mata dan meringakan ketengangan pundak saat berkendara.

Tiba di balai desa, para alumni dan pengurus Akademi Paradigta sudah berkumpul. Mereka tengah mendengarkan arahan kepala desa setempat terkait data-data desa yang harus mereka himpun.

Faktanya, para lulusan Akademi Paradigta ini banyak diperbantukan oleh pemangku kebijakan untuk terlibat dalam berbagai program desa. Ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi para lulusan. Bukan hanya mereka perempuan tapi karena kiprah dan komitmen mereka dalam terlibat membangun desa.

Akademi Paradigta bukan sekedar kumpulan perempuan tapi lebih dari kumpulan perempuan biasa. Mereka adalah penggerak perubahan tak kasat mata, mereka tak tinggi pendidikan tapi tinggi harapan dan kemauan.

Akademi Paradigta adalah tempat pelatihan dan pengembangan diri. Tempat semacam perkuliahan singkat yang memiliki aturan, modul belajar yang tertata dan terstruktur. Hampir sama dengan sekolah resmi lainnya.

Seperti diungkapkan Koordinator Pendidikan Akademi Paradigta Kuburaya, Kholilah.  Bedanya, kata dia, di Akademi Paradigta ini kesemuanya adalah perempuan, kebanyakan adalah ibu rumah tangga maupun perempuan yang memiliki kualifikasi dan komitmen tinggi membangun desa.

Diakui, saat ini keterlibatan perempuan di desa sangat minim. Padahal, adanya UU Desa harusnya membuat perempuan aktif berpartisipasi. Adanya Akademi Paradigta ini bisa mendorong perempuan desa tampil dan terlibat dalam kepentingan desa. 

Nantinya, saat kelas akan dibuka, Akademi Paradigta yang diinisiasi oleh Serikat Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Kabupaten Kubu Raya menginformasikan hal tersebut kepada seluruh kecamatan dan desa.

“Biasanya di awal-awal tahun, seperi kisaran bulan Februari dan Maret,’ katanya.

Kepala desa kemudian akan menyeleksi siapa yang memiliki dedikasi dan keaktifan di wilayahnya untuk belajar di Akademi Paradigta. Terpenting, usai mereka belajar di akademi, mereka bisa kembali dan memulai langkah terlibat dalam program desa. Dari hasil seleksi itu akan dikirim ke tingkat kecamatan. Setiap kecamatan yang berpartisipasi berhak mengirimkan masing-masing perwakilan.

“Biasanya 7-8 orang. Dipilih di tiap desa. Di Desa Sungai Enau misalnya itu ada 15 orang perempuan yang ingin ikut tapi karena desa hanya sanggup membiayai berapa, maka sisanya diikutkan tahun depannya,” terang Kholilah. 

Perlu diketahui, desa bisa memberikan bantuan biaya selama menempuh pendidikan di Akademi Paradigta. Biaya transport dan uang konsumsi. Dengan catatan, tidak semua desa memberikan ‘beasiswa’ tersebut. 

Per kelas akan ada sekitar 40 orang. Para perempuan ini akan mendapatkan pola belajar dengan didampingi mentor-mentor berpengalaman, baik dari PEKKA dan PPSW. Pembelajaran dimulai dari hari Senin-Jumat, waktu belajar lima jam dari satu kali pertemuan dengan total lama belajar adalah 6 bulan.

Seminar Akademi Paradigta dalam mendorong partisipasi perempuan dalam anggaran desa


Uniknya, jika di sekolah umum mereka belajar di satu ruang kelas yang sama hingga masa akhir pendidikan. Di Akademi Paradigta ini kelas belajar bisa berpindah-pindah, mulai dari kantor milik PEKKA, balai desa hingga rumah warga.

Bahkan, kelas bisa diliburkan jika para murid yang berisi ibu-ibu ini tengah menghadapi hajatan tahunan. Sebut saja lomba, kegiatan sosial yang digelar pemerintah setempat.

“Menyesuaikan, apalagi kita tahu para ibu ini kebanyakan anggota organisasi yang memiliki kegiatan rutin didesanya. Jadi, pas ada kegiatan itu, mereka minta izin kelasnya libur. Untuk kelas, bisa gantian dimana yang paling dekat dengan mereka,” paparnya.

Untuk sistem belajar, awalnya hanya memiliki 10 modul tapi sekarang Akademi Paradigta memiliki 12 modul yang menjadi bahan pokok pembelajaran. Seperti modul wawasan kebangsaan, stunting, ketahanan pangan, UU Desa, pengorganisasi masyarakat, advokasi, hingga desa harapan.  

Sama seperti proses belajar, akan ada tugas yang harus dikerjakan, baik tugas harian hingga tugas lapangan. Dari sekedar mengetahui soal SOP di posyandu, puskesmas, kantor desa hingga harus mengorganisir perempuan desa sebagai tugas lapangan maupun tugas akhir siswa akademi.

“Mereka diberi ilmu, dan praktek langsung ke lapangan. Jadi, umumnya memaparkan kondisi desa-desa yang ada di Kubu Raya. Tujuannya biar mereka makin kenal desanya dan bisa berfikir ke depan program yang belum selesai maupun yang harus ada di desa mereka sudah terbayang,” kata dia.

Sebagai tugas akhir, para siswa Akademi Paradigta ini diharuskan membuat rencana atau tindak lanjut apa yang ingin dilakukan untuk perubahan kampungnya. Rencana tersebut dibuat tertulis dengan membuat skema tersusun sehingga setelah disahkan oleh para mentor, tulisan akhir itu bisa direalisasikan di desa masing-masing.

Karya tulis tersebut akan menjadi semacam ‘skripsi’ yang akan dikembalikan kepada siswa akademi saat wisuda nanti.

Usai menyelesaikan proses belajar 6 bulan, tiba saatnya para siswa ini pun diberi kehormatan seperti layaknya wisudawan universitas. Bedanya mereka hanya dikalungkan slempeng kelulusan Akademi Paradigta oleh petinggi pemerintah maupun pengurus pusat.

Meskipun sederhana, namun antusiasme para lulusan sangat terasa. Mereka merias diri, mengenakan kebaya terbaik serta memboyong seluruh keluarga untuk hadir sebagai penghormataan atas capaian yang diraih.

“Ini menjadi momen pembuktian diri bahwa mereka berguna untuk memajukan desanya usai dari sini, jadi biasanya mereka tampil maksimal,” ucapnya tersenyum.

Tentu, usai menyesaikan pembelajaran di Akademi Paradigta, para alumni ini dituntut menghidupkan desa mereka, baik terlibat di PKK, karang tarunan maupun organisasi lainnya.

“Intinya mereka bisa terlibat langsung di desa, bisa memberdayakan para perempuan yang ada di sana.  Para alumni ini bisa benar-benar terlibat, merintis mimpi desa sesuai dengan harapan yang ingin mereka raih,” ungkap Kholilah.

Pengalungan slempang Akademi Paradigta oleh Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan

Para lulusan tampak ceria dan kompak saat pengalungan oleh Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan

Dampak nyata dirasakan para alumni Akademi Paradigta. Haminah, misalnya. Berasal dari Desa Dusun Kampung Baru, angkatan pertama tahun 2016-2017.  Ia ibu rumah tangga, tidak tamat sekolah dasar dan berprofesi sebagai petani.

Keseharian Haminah hanya melayani suami dan mengurus anak-anak. Ia tidak memiliki kemampuan bersosialisasi, apalagi terlibat dalam dunia organisasi seperti pencapaiannya saat ini yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Koperasi Mandiri Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya hingga aktif sebagai pengajar di keaksaraan nasional atau KS. Ia ditunjuk mengajar perempuan buta huruf dikampungnya. Pencapaian luar biasa diraih wanita berjilbab ini.  

Sejak bergabung di Akademi Paradigta, Haminah seperti memiliki kemampuan lain. Rasa minder mulai terkikis. Berani tampil menyuarakan pendapat, terlibat dalam diskusi kelompok dan aktif saat belajar.

Kesemuanya itu ia dapatkan di akademi, keseruan dan kesabaran mentor membuat ia paham bahwa dirinya bisa berguna sekaligus bermanfaat bagi desa dan lingkungannya.

Yulida pun merasakan hal sama. Ibu tiga anak ini merupakan lulusan Akademi Paradigta angkatan kedua, tepatnya tahun 2018 lalu.

Ia tinggal di Desa Sungai Ambangah. Lokasi antara rumah dan tempat belajar yang jauh, belum kondisi jalan dan cuaca tak membuat Yuli patah semangat. 

Ia percaya pepatah ‘Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’. Itu yang ia rasakan. Belajar mandiri, tidak tergantung sang suami ketika ada persoalan di desa, berani bersuara saat rapat desa hingga mengusulkan apa yang perlu dilakukan didesanya. 

Ia pun bisa membentuk PEKKA di Desa Sungai Ambangah. Luar biasanya, hingga saat ini sudah ada dua kelompok yang teribat di masing-masing desa, dimana per kelompok berisi 30an anggota, yang umumnya diisi oleh perempuan. Semua itu berkat kerja keras dan komitmen Yulida untuk tidak membiarkan perempuan duduk diam saja tanpa bersuara.

Ketua Serikat PEKKA Kubu Raya, Asmawati optimis perempuan yang tergabung dalam Akademi Paradigta bisa memberikan perubahan untuk desanya.

Tak banyak perempuan desa yang paham akan APBDes, namun ketika masuk dalam Akademi Paradigta, pokok pembahasan anggaran desa menjadi menu utama.

Pada akhirnya, transformasi perempuan desa bisa membawa manfaat, tidak hanya untuk pribadi, keluarga tapi juga desa terkait. Jika perempuan mampu berdikari dan aktif secara intelektual dan sosial, maka ia percaya lingkungan desa akan semakin berdaya. (*)

 

Share:

Menyuarakan Suara-suara yang Tak Bisa Bersuara

 

 

Direktur Lembaga Gemawan, Laili Khairnur

 

Laili Khairnur, Direktur Lembaga Gemawan begitu getol memperjuangkan nasib kaum perempuan, terutama di pedesaan. Dia hadir bersama Lembaga Gemawan yang berjuang untuk kedaulatan politik rakyat, kemandirian ekonomi rakyat, karakter budaya lokal, keadilan ekologis dan kesetaraan gender. Fokusnya adalah menyuarakan suara-suara yang tidak bisa bersuara. Yaitu para kelompok lemah. 

Oleh: Yuli S

            "Ini penting untuk menyuarakan suara-suara mereka, supaya ada perubahan, tak hanya untuk kita sendiri tapi juga bagi perempuan lain,” tuturnya. 

             Lahir sebagai  putri ke empat dari lima bersaudara. Ayahnya, H Tajuin Sulung adalah seorang guru di Kabupaten Sambas. Sejak SMP dirinya sudah senang membaca. Tamat SMA perempuan ini melanjutkan pendidikan di Jogja, pilihannya adalah  IAIN jurusan pendidikan Islam. Sifat kritisnya dimulai dari sini dengan menjadi aktivis hingga bergabung dalam HMI dan betah di Lembaga Gemawan. “Saya itu, paling senang berinteraksi dengan orang,” ucapnya. 

               Sejak kecil sudah punya keinginan menjadi Duta Besar. Lantaran profesi itu, seperti yang disaksikannya di layar televisi, merupakan juru bicara atau perwakilan suatu negara. Nah, profesi yang dilakoninya sekarang, yakni menjadi aktvis dan penggerak Lembaga Gemawan terasa klop sudah.

                Lembaga Gemawan berdiri mulai 1997, diawali dari diskusi-diskusi. Lantas secara legalitas dimulai pada 1999. Sementara Laili menggabungkan diri sejak 2001 sebagai volunteer atau tenaga sukarelawan. Kini dia didapuk sebagai Direktur Gemawan dan kian menguatkan perjuangannya terhadap kaum hawa.

Program Gemawan sendiri fokus pada isu terkait pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, isu anti korupsi dan pemberdayaan perempuan. Kesemuanya menjadi mainstreaming, jadi perspektif selalu ada perempuannya. Program yang khusus perempuan, lebih banyak mendorong kelompok perempuan di tingkat desa, kemudian menjadi organisasi perempuan di tingkat kabupaten.

Mereka rutin melakukan diskusi dengan berbagai tema atau isu yang ada di sekitar mereka untuk membangun kesadaran dan pemberdayaan, bahwa perempuan itu, dengan berbagai haknya bisa diekspresikan. Progam lainnya adalah fokus training pengelolaan SDM, di antaranya adalah usaha kecil perempuan dan lainnya.

Ada tujuh kabupaten dan dua kota yang kerap disambangi Laili Khairnur. Yaitu, Kabupaten Sintang, Sambas, Kapuas Hulu, Kayong Utara, Mempawah, Kubu Raya, Kota Singkawang dan Kota Pontianak. Semua daerah ini fokus pada isu perempuan, kecuali Kota Pontianak.

Kata Laili, perempuan-perempuan di kampung tidak punya informasi, tapi sebenarnya ada informasi. Nah ini yang harus digali. Mereka diberikan peningkatan kapasitas, training kepemimpinan, edukasi, packaging bagi yang punya usaha, marketing hingga pengelolaan produk turunan yang mereka miliki.

Bagi kasus tertentu, semisal saat pandemi Covid-19, ada juga bantuan yang digulirkan. Terutama untuk mereka yang terdampak langsung, seperti tak bisa bekerja lagi karena kondisi pandemi, bantuan keuangan, bibit atau bantuan mesin pencacah rumput dan sebagainya.

Kerjasama dengan instansi pemerintah juga dilakukan. Di antaranya di Kabupaten Sambas, berkenaan dengan perempuan penenun. Produk tenun mereka dikampanyekan dan didaftarkan. Hasilnya, usaha menenun mereka kini sudah melanglang hingga nasional bahkan internasional, mereka berpameran di Malaysia, dan malah sudah diakui Unesco.

“Di Sintang, perempuan petani yang memproduksi beras hitam, kini sudah menjadi komoditi prioritas Pemerintah Daerah. Banyak lagi yang kami lakukan dalam memperjuangkan dan mengangkat kehidupan perempuan di pedesaan. Mereka kini malah menjadi penggerak pembangunan di desa. Karena hampir 50 persen desa itu adalah perempuan, jadi harus ada perwakilan mereka,” tegasnya. 

Kelompok Petani Perempuan memulai penanaman padi.

Petani perempuan mengurusi lahan pertanian.

Sepak terjang Laili dalam memperjuangkan kaumnya patut diacungi jempol. Dia pantang takut dalam menghadapi situasi yang sulit sekali pun. Pernah di suatu desa, ketika dia hendak membangun kelompok perempuan, dia harus berhadapan dengan para suami.

“Ya, ketika itu kita nginapnya di sebuah hotel. Para suami dari ibu-ibu yang hendak kita ajak membangun kelompok perempuan menaruh curiga. Ngapain perempuan-perempuan di hotel, begitu kata mereka. Tapi setelah kita jelaskan dan mereka menyaksikan sendiri proses pembelajaran yang kita berikan, baru mereka percaya. Sekarang malah mereka yang mengantar istrinya,” ceritanya sambil tersenyum mengenang. 

Pengalaman tak enak itu, juga kerap berulang di desa lain, seperti di Kubu Raya atau di Sambas. Awalnya mereka heran dan bertanya-tanya, kegiatan kaum perempuan berkelompok hanya menghabiskan waktu dan tak jelas. Karena ada kepercayaan bagi orang kampung, bahwa perempuan hadir dalam sebuah forum itu tabu. Memang butuh kesabaran untuk meyakinkan dan membuktikan hasil akhir dari perjuangan tersebut.

Di sebuah desa di Kabupaten Sintang, lain lagi ceritanya. Kehadiran Gemawan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, ditolak mentah-mentah. Pasalnya, produksi beras mereka yang berlebihan disarankan untuk dijual saja. Namun menurut mereka, di kampung mereka, tidak ada tradisi menjual beras karena mereka sudah berkecukupan. Terlebih jika itu dilakukan, bakalan membawa petaka ke kampung mereka. Mereka juga tidak menerima bantuan.

“Kita menghormati budaya setempat. Ini menjadi pembelajaran juga bagi kami di Gemawan, bahwasanya ketika kita melaksanakan program, mustinya memperhatikan hal-hal tersebut terlebih dahulu. Kita harus menghormati budaya setempat. Karenanya kita mundur dan mengakui kesalahan kita,” jelasnya. 

21 tahun menyatu dalam Lembaga Gemawan, dirinya merasa lega. Banyak pengalaman suka duka yang dirasakannya. Kini dia sudah bisa melihat hasil perjuangan yang dilakukannya. Sudah banyak kaum perempuan di desa yang terangkat kehidupannya. Sudah banyak kaum perempuan yang tampil dalam forum. Banyak pula usaha kaum perempuan yang meningkat. Begitu pula pendidikan anak-anak perempuan, sudah jauh lebih baik, akses pun sudah terbuka.

Satu di antara kegiatan yang dilakukan Laili bersama Gemawan.

Laili Khairnur (kanan) saat menjadi pembicara Diskusi Perempuan.

Namun perjuangan belum berhenti, meski sudah terjadi peningkatan tapi bukan berarti persoalan selesai. Karena sistem patriarki itu selalu ada. Di samping perempuan yang beruntung dan sukses, tetap masih ada yang belum beruntung.

“Jangan anggap, bahwa semua sudah terselesaikan. Tetap ada masalah di lapangan, terutama bagi mereka yang belum beruntung dan jauh dari akses informasi pendidikan. Masih banyak anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah, tidak kuliah tapi sudah merasa cukup. Bahkan ada yang berpikiran anak perempuan tunggu menikah, maka selesai tugas orangtua. Padahal tidak seperti itu,” tegasnya. 

Menurut dia, walau peluangnya semakin besar. Artinya, itu bukan terjadi dengan seketika, tetapi dimulai dengan perjuangan dari banyak elemen, dari kelompok masyarakat yang konsen dengan isu perempuan.

“Banyak perempuan yang menganggap ketika sudah berhasil, maka persoalan yang dihadapi perempuan lain selesai. Coba lihat dan turun ke lapangan, lihatlah realitanya, saya yakin pasti ada. Bahkan saya sendiri yang sudah benar-benar terbebas dari yang namanya ketidakadilan, tetap yakin tidak seratus persen tidak ada hambatan lagi,” katanya. 

Dia berharap, perempuan yang beruntung sudah berhasil, bisa terus menyebarkan keberhasilannya kepada orang lain, agar orang lain juga bisa menikmati keberhasilan yang sama. “Mari bantu perempuan lain,” imbuhnya.

Aksi perjuangan Laili Khairnur diapresiasi banyak orang, salah satunya adalah Umi Kalsum. Kepala Sekolah SMP di Kabupaten Kubu Raya. Umi mengakui sering mendengar dan menyaksikan, kegiatan kaum ibu yang dipelopori oleh Gemawan.

“Ibu-ibu di kampung yang awalnya tak punya kegiatan dan tak berani tampil, saya lihat sekarang sudah banyak yang mandiri, mereka berkegiatan dan mampu berbicara dengan cerdas,” ucap Umi.

Dia bilang, ada beberapa keluarga dan kenalannya ibu-ibu di kampung yang merasa terbantu dengan program Gemawan, terutama dalam memotivasi mereka agar ikut berkiprah dalam pembangunan, khususnya membangun diri sendiri dan keluarga.

“Kegiatan seperti ini, kita harap terus berlanjut, agar kaum perempuan kita, terlebih yang berada di pedesaan, tidak kalah majunya dengan yang berada di kota,” katanya.

Lain lagi komentar Netty Kamiso, ibu tiga anak yang sering bolak balik Kayong Utara – Pontianak. Di Kayong Utara, meski tak ikut langsung kegiatan kaum ibu, lantaran kesibukannya berbisnis, namun dia mendukung program Gemawan dan kegiatan yang dilakukan dalam penguatan kaum perempuan di pedesaan.

“Ada beberapa kawan saya, yang ikut kegiatan Gemawan di Kayong, mereka membentuk kelompok perempuan di lima desa, agar berpartisipasi aktif  di bidang ekonomi, sosial, pembangunan dan lainnya,” kata Netty.

Menurut Netty, apa yang dilakukan Gemawan terhadap kaum perempuan di pedesaan sangat positif. Ibu-ibu di sana sekarang sudah semakin maju dan tak minder lagi untuk tampil.

Kata Netty, temannya dari Desa Seponti Jaya, mengaku senang dengan kehadiran Gemawan serta memfasilitasi pembentukan kelompok perempuan. Baik Netty dan teman-temannya di desa, berharap agar program-program Gemawan dapat terus meningkatkan potensi yang dimiliki kaum perempuan, sekaligus meningkatkan perekonomian mereka. **

 

Share:

‘Srikandi Kembar’ Pejuang Informasi dan Literasi Tanpa Takut Diskriminasi


 

Rospita Vici Paulyn (kiri) & Chatarina Pancer Istiyani. IST  


Apa yang terbersit saat mendengar kata Informasi dan literasi? Pastinya era teknologi seperti sekarang ini sebagian kita sangat akrab dengan dua kata itu.

Oleh: Chica

Menurut KBBI, informasi adalah  penerangan, pemberitahuan atau kabar atau berita tentang sesuatu. Sementara literasi bermakna kemampuan menulis dan membaca. Kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan kecakapan hidup. 

Jika kata literasi dan informasi digabung menjadi literasi informasi, maka dalam pengertian Perpustakaan Perguruan Tinggi mendefinisikan bahwa literasi informasi adalah kemampuan untuk mengenal kebutuhan informasi untuk memecahkan masalah, mengembangkan gagasan, mengajukan pertanyaan penting, menggunakan berbagai strategi pengumpulan informasi, menetapkan informasi yang cocok, relevan dan otentik.

Memahami makna literasi informasi menjadi kebutuhan semua pihak. Tak heran jika semangat literasi informasi terus digaungkan, mengingat ini erat kaitanya dengan era keterbukaan informasi yang ingin dibangun pemerintah. Banyak tokoh dalam dan luar negeri menjadi pejuang literasi informasi, termasuk tokoh lokal asal Kalbar yang getol memperjuangkan keterbukaan informasi dan literasi kepada khalayak ramai.

Saat ini, informasi sudah menjadi kebutuhan manusia. Era teknologi, memudahkan informasi untuk didapat. Namun, informasi harus diimbangi dengan literasi agar informasi tidak salah kaprah. Ini juga menjadi kerja para pejuang informasi agar selain melek informasi juga melek literasi. Di Kalbar, ada banyak pejuang informasi dan literasi.

Sebut saja, Rospita Vici Paulyn dan Chatarina Pancer Istiyani. Keduanya adalah pejuang informasi dan literasi yang sama-sama bekerja di Komisi Informasi (KI) Provinsi Kalbar. Sosok perempuan mereka tidak menghalangi bergerak di lintas organisasi, komunitas, lembaga untuk mensosialisasikan pentingnya mengetahui informasi yang dibutuhkan masyarakat. Selain keterbukaan informasi, mereka juga kerap menggaungkan pentingnya memahami informasi dengan baik dan benar agar tidak salah persepsi.

Rospita dan Chatarina dijuluki ‘Srikandi Kembar’ Komisi Informasi Kalbar. Tidak hanya berhasil masuk dalam jajaran KI yang umumnya menjadi ranah patriaki, tapi keduanya terbukti mampu bertahan hingga dua kali menduduki komisioner KI Kalbar. Bukan tanpa alasan mereka mendapat julukan tersebut. Beberapa rekan kerja, hingga kolega, lumrah mendengar julukan tersebut.

Bagaimana tidak, kiprah kedua perempuan tangguh ini bukan hal biasa, mereka mampu mendobrak kebiasaan dengan dibuktikan keduanya mampu menjabat Ketua KI Kalbar dalam periode masing-masing.

Rospita menjabat Ketua KI dari periode 2017-2019. Lalu terpilih kembali sejak Januari 2021 lalu. Sementara Chatarina terpilih menjadi Ketua KI tahun 2015-2017 lalu.

Jadi,tak heran melihat prestasi keduanya. Mereka pun cukup aktif dalam perjuangannya merealisasikan Kalbar yang transparan dalam hal informasi publik. Mereka mengabdikan diri mendorong banyak kebijakan terkait transparansi informasi, terutama data instansi pemerintah yang bisa diakses masyarakat secara luas dan berkala.

Rospita saat menjadi pembicara di International Women's Day.

Pita begitu ia disapa, memulai karir di KI sejak tahun 2016. Awalnya, ia bekerja sebagai konsultan di salah satu perusahaan jasa konstruksi. Bahkan, pernah menduduki jabatan direktur di perusahaan yang sama.   

Sejak tanggal 14 Januari 2021 lalu, untuk kedua kalinya ia dipercaya menjadi Ketua KI Kalbar. Tidak hanya itu, ia juga dipercayai menjabat ketua di sejumlah organisasi keperempuanan. 

Baginya, status sebagai seorang perempuan tidak menjadi penghalang bagi profesinya, terutama saat menghadapi sejumlah gugatan terkait informasi.


 Rospita berbicara dalam sharing keterbukaan informasi dan literasi
Sebagai perempuan yang memimpin organisasi bergengsi tidak lantas ia berpangku tangan.   Ini lebih berusaha keras agar literasi informasi bisa dipahami masyarakat. Terpenting, akses informasi menjadi jelas dan pasti tanpa hambatan akibat terhalang peliknya akses informasi.

Nah, tokoh perempuan pejuang informasi lainnya adalah Chatarina Pancer Istiyani. Ia merupakan, Koordinator Penyelesian Sengketa Informasi Publik pada Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat.

Wanita kelahiran Sleman ini merupakan aktivis sekaligus peneliti di sejumlah lembaga dan institusi. Memiliki kemampuan komunikasi yang sangat baik memudahkan ia masuk dalam jajaran perempuan Kalbar yang diperhitungkan, mengingat kontribusinya bagi daerah, terutama dalam membela hak-hak perempuan, lingkungan dan literasi informasi.

Ia gemar membaca dan hobbi menulis. Sejumlah buku sudah ia karyakan, seperti  ‘Tubuh dan Bahasa’. Buku ‘Mozaik Dayak: Keragaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat’. Buku Berjudul ‘Memahami Peta Keragaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat’. Buku ‘Senator di Perbatasan’ hingga menulis kisah parlemen perempuan ‘Profil Perlindungan Perempuan Kalimantan Barat’.

Chatarina saat diwawancarai sejulah media

Ia menganggap perempuan sangat pantas masuk dalam bingkai kesuksesan dibidangnya masing-masing. Masuk sebagai komisioner KI menjadi pembuktian bahwa perempuan bisa sukses jika mau bersungguh-sungguh dengan komitmen yang ada.

Menurutnya, ada andil para perempuan dalam pewujudan keterbukaan informasi public di Kalbar, ada perjuangan merebut hak untuk tahu, dan juga berbagai kisah dan peristiwa lainnya.

Ia masih ingat jelas saat perjuangannya terlibat dalam pembentukan KI Kalbar. Andil para Srikandi, terutama para aktivis perempuan Kalbar yang getol dalam memperjuangkan keterbukaan informasi.

Diakui, menjadi penggiat informasi dan literasi bukan pekerjaan gampang, kegigihan saat berhadapan dengan laporan hingga masuk area persidangan jadi bagian rutin komisioner ini. 

Adanya UU Keterbukaan Informasi tidak lantas membuat tugas menjadi mudah, tetapi justru makin banyak tantangan, terutama bagi badan publik yang belum siap dalam meng-up date data terbaru. 

Sementara masyarakat yang mengetahui adanya UU ini menuntut informasi menyeluruh. Diakuinya, ada beberapa informasi yang harus disampaikan setiap saat. Ada juga informasi yang disampaikan secara berkala minimal enam bulan sekali, khususnya anggaran yang menjadi sorotan masyarakat.

Chatarina saat memberikan materi keterbukaan informasi publik

Dalam dedikasi mereka, perempuan tidak boleh cengeng hanya karena jauh dari rumah saat tugas harus diselesaikan. Perempuan harus bisa membuktikan diri bahwa mampu mengatasi tekanan, persoalan dan putusan yang harus segera diambil. Intimidasi dan diskriminasi tidak membuat mereka takut, meskipun ancaman maupun tekanan menjadi hal biasa dalam pekerjaannya itu.

“Jika akses untuk mendapatkan informasi publik terhalang, jangan heran jika pemahaman akan literasi yang ingin kita bangun lewat keterbukaan informasi akan semakin sulit. Kita makin terhambat, masyarakat bingung untuk mencari informasi kemana, makanya kita hadir agar seluruh instansi pemerintah transparan dalam memberikan informasi,” ujarnya.

Menurut mereka, masalah informasi publik ini harus sampai kepada masyarakat ditataran terendah sehingga literasi masyarakat pun bisa baik dalam melihat informasi yang ada. 

Informasi publik, terutama menyoal anggaran, pendidikan, sosial dan kesehatan adalah yang paling banyak dicari, terutama oleh kalangan perempuan karena yang memiliki dampak langsung informasi tersebut. Literasi yang kurang akan informasi publik membuat ia dan rekannya di KI melakukan sosialisasi kepada perempuan agar melek dalam membaca informasi yang ada.

“Literasinya yang terus kita asah dalam membaca informasi pubik yang mereka butuhkan,” ujar Pita.

Baik Pita dan Chatarina mengakui, banyak tantangan yang mereka dihadapi. Berbagai kasus sengketa informasi melibatkan banyak pihak dari kepolisian hingga lembaga daerah menjadi hal biasa baginya. Dalam hukum, tidak ada yang namanya perbedaan perempuan dan laki-laki, jika tidak kompeten dibidangnya maka akan sulit menghadapi persoalan yang ada.

“Bagi kita, ini bukan halangan. Perempuan atau tidak, kita berjuang dalam bidang kita masing-masing. Perempuan duduk di dalam sidang, apalagi yang berjuang agar informasi bisa transparan sehingga literasi bisa terjadi. Menjadi kehormatan tersendiri dan saya, sebagai seorang perempuan pastinya bangga,” ungkap Chatarina.

Akses informasi yang sulit membuat banyak perempuan tidak bayak yang paham apa yang menjadi hak mereka. Perempuan adalah korban pertama ketika informasi sulit mereka dapat. Ini merupakan perjuangan perempuan dalam memastikan informasi, terutama yang bersifat publik bisa mereka akses.

Dengan tugas yang seabrak tidak membuat dua srikandi ‘kembar’ ini lelah, mereka cukup aktif dalam mesosialisaiskan di tingkat kota, kabupaten hingga desa pelosok Kalbar.

Belum lagi sosialisasi antar pulau di sejumlah daerah pedalaman Kalbar menjadi dedikasi sekaligus hiburan manis di tengah pesan-pesan edukasi yang mereka bawa. Bertemu banyak pihak, organisasi kepemudaan, perempuan maupun lintas agama, menjadikan mereka kaya akan pengalaman. Lebih memahami persoalan masyarakat pelosok akan kebutuhan informasi.

Saat ini banyak kerja-kerja penguatan informasi dan literasi menjadi pekerjaan rumah, mengingat kawasan Kalbar yang luas, ditambah jalur transportasi dan komunikasi yang masih sulit.

Warga pedalaman sama nasibnya dengan warga yang tinggal di perbatasan Kalbar-Malaysia. Mereka membutuhkan informasi untuk kelancaran kerja dan tugas mereka.

Bagi Pita dan Chatarina, ini adalah tugas wajib mereka saat terpilih menjadi komisioner KI Kalbar. Bukan hanya tugas, tapi dedikasi dalam memberikan kebutuhan informasi publik warga.  Meskipun ke depan akan lebih banyak tantangan. Seperti ungkapan Kartini dalam bukunya ‘Habis Gelap, terbitlah terang’.  


Share: