Kemen PPPA Gelar Festival Inovasi dan Kreativitas Forum Anak 2018

Bogor (13/5) – Dalam rangka mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030, perlu upaya bersama dalam meningkatkan pemenuhan hak dan perlindungan anak. Untuk itu Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyelenggarakan Festival Inovasi dan Kreativitas Forum Anak 2018. Kegiatan ini bertujuan mendorong dan mengembangkan partisipasi anak dalam pembangunan, khususnya melalui berbagai kegiatan dengan wadah Forum Anak di daerah.

“Festival ini sejalan dengan klaster satu Konvensi Hak Anak (KHA) yaitu pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak. Untuk itu, kita sebagai orangtua harus memberikan kesempatan luas bagi anak untuk berpartisipasi dan mengembangkan minat, bakat, dan kemampuan mereka. Selain itu memastikan anak dapat menyampaikan pandangannya secara bebas sesuai usia dan tingkat kecerdasannya,” Ungkap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise dalam pembukaan Festival hari ini.

Pemenuhan Hak Partisipasi Anak sebagai salah satu dari empat hak dasar anak, terkandung dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 4 yang menyatakan “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

200 anak perwakilan Forum Anak dari 34 Provinsi di Indonesia memeriahkan acara festival. Dengan antusias, anak-anak mengikuti berbagai perlombaan, seperti mewarnai dan menggambar. Mereka juga menampilkan berbagai kreativitas dan inovasi, seperti membaca puisi, mendongeng, menari daerah, dan memainkan permainan tradisional.

Menteri Yohana menegaskan, terpenuhinya hak partisipasi anak akan berdampak positif bagi proses tumbuh kembang anak. Mereka akan lebih kuat terhadap berbagai kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi yang mengancam. Dibutuhkan komitmen bersama guna menyadarkan masyarakat akan pentingnya memberikan kesempatan luas bagi anak untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan kehidupan sosial di lingkungannya.

Pada Festival tersebut, Menteri Yohana melakukan interaksi langsung dengan anak-anak. Dilanjutkan dengan bermain dan bernyanyi bersama, untuk mengembangkan seluruh inovasi dan kreativitas yang mereka miliki.
Share:

AIMI Kalbar Soroti Tiga Isu ASI


*JPK Dukung Peningkatan Kualitas ASI

Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Kalimantan Barat (Kalbar) menyoroti tiga isu penting dalam hal menyusui. Ketiga isu tersebut dianggap penting lantaran berpengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak serta masa depan generasi Indonesia.

Isu pertama yakni terkait kode etik promosi susu formula (sufor) baik yang dilakukan oleh produsen sufor hingga petugas kesehatan. Ketua AIMI Kalbar Aditya Galih Mastika mengakui bahwa pihaknya kerap mendapatkan laporan terkait adanya upaya untuk promosi sufor bagi anak usia di bawah enam bulan. Bahkan, hal itu dilakukan secara langsung oleh petugas kesehatan. Hal tersebut menurutnya telah melanggar kode etik.

“Ibu-ibu pasca melahirkan pernah dibekali susu formula oleh pihak rumah sakit,” ungkapnya saat diskusi dengan Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK), Kamis (10/5) di Canopy Center.

Saat persentasi dari anggota JPK, Wati Susilawati
Promosi produk sufor kerap dilakukan dengan menggaet pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Hal ini pun masih ditemukan di pelayanan kesehatan di Kota Pontianak. “Masih ada kami temukan pelayan kesehatan yang turut mempromosikan sufor. Bahkan ada yang menjanjikan hadiah kepada petugas kesahatan yang mampu menjual produk-produk sufor tersebt,” ungkap Wakil Ketua AIMI Kalbar, Rizky Pontiviana.

Iklan sufor bagi anak usia di bawah enam bulan memalui media elektronik selama ini memang secara ekspilisit belum ditemukan di media-media cetak dan elektronik. Namun ada upaya-upaya untuk mempromosikan susu pengganti ASI. Padahal menurutnya tidak ada satu produk susu pun yang bisa menggantikan peran ASI.

“Ada itu ptomosi susu hewan yang bilang mendekati kandungan ASI bahkan sama dengan ASI,” ucapnya.

Selayaknya menurut dia, pelayanan kesehatan tidak terlibat dalam promosi sufor. Apalagi yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia di bawah 6 bulan. Selain itu, peran pemerintah menurutnya juga penting agar penegakan terkait kode etik ini dapat dilakukan. Teguran mestinya dilayangkan bagi perusahaan atau pelayanan kesehatan yang melakukan hal demikian agar memberikan efek jera.

Sorotan Kedua yakni ketersedian ruang laktasi yang layak bagi ibu untuk menyusui anak. Adapun sejauh ini diakuinya fasilitas umum telah dilengkapi dengan ruang laktasi. Namun standar raungan yang dikatakan layak, masih jauh dari harapan.

Meski tidak memiliki data secara pasti, namun pihkanya juga mendapatkan laporan adanya perusahaan yang tidak menyediakan ruang laktasi bagi pegawainya yang menyusui. Padahal hal itu juga telah diatur dalam Pasal 128 UU No.39/2009 Kesehatan yang berbunyi memberikan arahan agar pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. Penyediaan fasilitas khusus yang dimaksud yakni diadakan di tempat kerja dan di tempat sarana umum.

Adapun sorotan yang ketiga yakni terkait cuti  ibu melahirkan. Selain pasal 128 UU No 39/2009 tentang keseahtan yang mengatur tentang ASI, pasal lain yang mendorong agar ibu diberikan cuti melahirkan terdapat dalam pasal 83 Undang-undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa pekerja atau buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

“Walaupun cuti melahirkan di Indonesia yang hanya 3 bulan, namun negara menyatakan bahwa ibu bekerja dapat terus memberikan asi kepada anaknya dengan memerah dan menyusui selama jam kerja,” tutur Aditya.

AIMI Kalbar berharap ketiga isu ini dapat menjadi sorotan baik pemerintah, instnasi terkait, anggota dewan, pelayanan kesehatan, hingga perusahaan. Dengan memperhatikan kualitas ASI, maka pihaknya meyakini akan tercipta generasi-generasi Indonesai yang berkualitas.

Sementara itu, Wakil Ketua JPK, Nurul Hayat menilai isu terkait ASI perlu menjadi sorotan media. JPK sebagai organisasi yang mewadahi wartawan perempuan di Kalbar menurutnya perlu untuk berkontribusi dalam mengampanyekan pentingnya ASI ke masyarakat.

“JPK juga perlu turut andil dalam mendorong berbagai upaya untuk mendorong ASI yang berkualitas. Sebagai jurnalis, tentu kami akan memberikan porsi pemberitaan terkait hal ini agar menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat luas, sehingga timbul kesadaran,” pungkasnya.
Foto Bersama AIMI Kalbar dan JPK usai menggelar diskusi, Kamis (10/5) di Canopy Center

Share:

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tetapkan Permen PPPA Nomor 4 Tahun 2018



PERATURAN MENTERI NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Jakarta (7/5) – Pemerintah terus berupaya dalam memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak. Dalam 10 tahun terakhir berbagai sanksi dalam perundang-undangan siap menjerat para pelaku kejahatan kemanusiaan termasuk diantaranya kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan di sekolah, dan segala jenis kekerasan dan ketidakadilan lainnya.

Selain berfokus pada penjeratan pelaku, Pemerintah juga berfokus pada upaya-upaya pemulihan korban. Perempuan dan anak korban kekerasan biasanya tidak mampu melepaskan jerat trauma atas kejadian yang terjadi. Apalagi sebagian besar kejadian meninggalkan luka fisik yang tidak sepele bahkan mengakibatkan cacat tetap hingga kematian. Pengakuan korban juga seringkali tidak dianggap penting atau diabaikan karena dianggap aib. Karenanya, banyak kasus yang tidak mampu terungkap atau tidak mendapat penanganan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, korban mendapati kenyataan bahwa dirinya terabaikan.

Menindaklanjuti hal-hal diatas, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menetapkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak sebagai pengganti dari Peraturan Menteri PPPA Nomor 5 Tahun 2010 tentang Panduan Pembentukan dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu dan Peraturan Menteri PPPA Nomor 6 Tahun 2015 tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Melalui peraturan ini diharapkan korban mendapatkan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan terpenuhi haknya. UPTD PPA menyelenggarakan layanan pengaduan masyarakat; penjangkauan korban; pengelolaan kasus; penampungan sementara; mediasi; dan pendampingan korban.

Pengaturan baru ini mempedomani pembentukan UPTD PPA yang meliputi: kedudukan tugas dan fungsi; prosedur pembentukan, sumber daya manusia UPTD PPA dan pedoman fasilitas sarana dan prasarana UPTD PPA yang mengacu pada Permendagri Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan Dan Klasifikasi Cabang Dinas Dan Unit Pelaksana Teknis Daerah.

Sebagai tindak lanjut penyebarluasan Peraturan Menteri PPPA Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak, Kemen PPPA akan melakukan sosialisasi berupa tatap muka maupun menggunakan media publikasi, salah satunya saat ini telah dapat diunduh melalui laman jdih.kemenpppa.go.id.
Share: