
PONTIANAK
– Membangun power sharing menjadi titik kunci yang harus diterapkan dalam
persamaan gender antara kaum perempuan dan lelaki. Inilah yang menjadi
tantangan bagi masyarakat, khususnya peran media massa agar bagaimana bisa
merekonstruksi ulang mindset tentang perempuan itu lemah, cengeng, dan
steorotip lain yang dikaitkan dengan kodrati wanita. Masyarakat dan institusi
diharapkan mampu mengubah pola pikir dan fokus kegiatannya untuk mendukung kesetaraan
serta keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan.
Hal
itulah yang diungkapkan oleh Direktur Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita
(PPSW) Borneo, Reny Hidjazie ketika menjadi pemateri dalam Diskusi USAID
Kinerja bulan April yang menjadi gawe dari Jurnalis Perempuan Khatulistiwa
(JPK) Kalbar, Senin (28/4). “Sebenarnya yang membedakan antara perempuan dan
laki-laki itu hanya pada jenis kelamin (sex) saja. Diluar itu keduanya memiliki
hak, kewajiban dan tugas yang sama,” ujarnya.
Menurut
Reny, ada tiga persoalan besar yang melingkupi kaum perempuan. Pertama,
kemiskinan. “Terlahir dalam keluarga miskin menyebabkan perempuan tidak punya
banyak pilihan dalam kehidupannya. Tidak bisa bersekolah dan tidak bisa
bekerja. Kemiskinan yang diturunkan
secara turun temurun dan harus menerima untuk menikah muda,” jelasnya. Kedua,
kekerasan fisik, psikis maupun ekonomis yang diterima oleh perempuan, mulai
dari pemukulan hingga dipaksa menjadi pengemis. “Soal yang ketiga adalah beban
ganda luar biasa yang diberikan kepada perempuan, dimana mereka harus
bertanggung jawab pada kehidupan domestik maupun publik, anak-anak dan rumah
tangganya,” kata Reny.
Setinggi
apapun dia berkarir, lanjut dia, perempuan masih harus dibebani pekerjaan rumah
tangga. Seorang perempuan memiliki beban ganda dalam perannya di domestik rumah
tangga dan peran publiknya. “Ini sudah turun temurun karena dampak dari
konstruksi yang terus menerus. Sulit untuk keluar dari cangkang yang telah
terbangun lama,” keluhnya. Harus ada proses perubahan terus menerus untuk
memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender yang diidamkan. “Keadilan disini
adalah terwujudnya relasi gender yang adil antara perempuan dan laki-laki di
masyarakat yang dicirikan oleh hapusnya kekerasan (fisik, psikis dan seksual),
sub-ordinasi (bidang politik, budaya dan sosial), marjinalisasi (peminggiran
dan pemiskinan secara ekonomis), beban berlebihan / ganda, dan pelabelan /
stereotyping,” jelas Reny mengutip Blue Print Rencana Aksi Nasional untuk
Pemberdayaan Perempuan, Januari 2000.
Sementara
untuk kesetaraan gender, adanya persamaan kedudukan perempuan dan laki-laki di
muka hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis. Hak-hak perempuan
dijamin dan setara dengan laki-laki tanpa mempersoalkan gendernya. “Terwujudnya
relasi gender ini dicirikan dengan terhapusnya kekerasan, negara makmur
sejahtera dan damai. Selain itu terciptanya keluarga harmonis, saling
menghargai, menghormati serta berbagi peran,” beber perempuan berjilbab ini.
Reny
mengatakan, bahwa dari data yang diperolehnya, ada 20 persen keluarga di
Indonesia ini yang justru kepala keluarganya adalah perempuan. “Sayangnya di
Undang-undang Perkawinan itu tidak ada celah kepala keluarga adalah perempuan.
Tercantum pemberi nafkah adalah lelaki dan perempuan hanya kerja sampingan atau
tambahan,” katanya. Begitupun ketika perempuan menjadi korban perkosaan, gender
dilekatkan pada perempuan dan tidak menjadi setara pada proses hukum. Pelakunya
bisa cepat melenggang bebas setelah menjalani hukuman yang terkadang tak
setimpal dengan perbuatannya. “Pelakunya setelah dipidana sudah selesai
menerima hukumannya, namun perempuan harus menanggung beban derita dan
traumanya seumur hidup,” ujarnya.
Reny
juga menyoroti minimnya alokasi anggaran untuk perempuan, semisal anggaran masyarakat
miskin dan posyandu. “Angka kematian ibu cukup tinggi, jadi idealnya
anggarannya itu harus melebihi dari 50 persen karena perempuanlah yang mengurus
kelahiran dan kelangsungan hidup generasi penerus di muka bumi ini,” tegasnya.
Dikatakan
oleh Reny, bila dulu perempuan hanya dijadikan sebagai obyek pembangunan, namun
kini dikembangkan empowerment atau pemberdayaan yang mengarah pada
pengarusutamaan gender yang banyak digaungkan oleh para aktifis perempuan. “Contoh,
perempuan berpartisipasi dalam pembangunan, diberikan hak bersuara dan
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Mereka bukan lagi semata obyek,
tapi sudah menjadi subyek yang ikut dalam perencanaan pembangunan serta
melakukan pengontrolan terhadap kebijakan yang berlangsung,” bebernya. Gerakan
perempuan ini jugalah yang menurut Reny, pihaknya (PPSW, red) sedang bangun dan
lakukan pendampingan. Harapannya adalah tercipta Indonesia yang bersih dari
korupsi, bebas kemiskinan, bebas dari segala bentuk kekerasan dan rasa takut
untuk mencapai keadilan dan kedaulatan bagi rakyat miskin, perempuan dan
kelompok marjinal.
Reny
sendiri mengapresiasi bahwa sekarang ini di alam demokrasi Indonesia, gerakan
perempuan sudah jauh lebih baik. Terlihat dari pendampingan yang dilakukan PPSW
di kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, terjadi peningkatan yang signifikan
terhadap partisipasi perempuan aktif dalam memperoleh informasi, akses dan
kontrol serta pelibatan aktif dan mengusulkan kegiatan berdasarkan kebutuhan
melalui proses perencanaan pembangunan terkait pelayanan publik di wilayah
mereka. “Mereka yang kita dampingi, sudah mulai mau terlibat dalam berbagai
kegiatan – yang notabene dulunya hanya diisi oleh kaum pria saja. Mereka juga
kini lebih aktif dalam memberikan masukan serta menyuarakan hak-hak perempuan.
Salah satunya terlibat dalam Musrenbang, baik di tingkat kelurahan hingga
tingkat kota,” jelasnya.
Menurut
Reny, sudah banyak kran yang dibuka, tinggal bagaimana memanfaatkan situasi dan
memperkuat power dalam keterlibatan. Diharapkan para perempuan, khususnya ibu
rumah tangga inilah yang akan menjadi agen perubahan. “Kesadaran kritis inilah
yang berusaha kita bangun. Bahwa laki-laki dan perempuan sebagai warga
masyarakat punya hak dan kewajiban setara ‘power sharing’ sesuai kemampuan dan
kondisi, bukan kepada siapa yang paling kuat dan berkuasa” pungkasnya. **